Latest entries

Keraton Ismahayana Kesultanan Landak di Ngabang, 
Kalimantan Barat. (Sumber foto: detiktravel)


Oleh: Karel Juniardi | Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak


Apabila kita datang ke Kota Ngabang yang merupakan ibukota Kabupaten Landak di Provinsi Kalimantan Barat, maka kita akan banyak menjumpai peninggalan Kerajaan Landak seperti Keraton, Masjid, Makam Raja-Raja Kerajaan Landak, dan sebagainya karena dulunya Kota Ngabang menjadi pusat Kerajaan Landak. Penulisan sejarah awal Kerajaan Landak tidak terlepas dari sumber cerita rakyat. Hal ini karena keterbatasan sumber tertulis yang menjadi dasar sumber primer. Menurut cerita rakyat, sejarah berdirinya Kerajaan Landak bermula dari seorang bernama Tedung Sari yang konon berasal dari Pulau Jawa yaitu daerah Banten (Pembayun, 1999:12). 

Balai Basarah di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah (Sumber: Antara) 'Oleh: Voka Panthara Barega (Alumni Universitas Padjajaran) Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) pernah mengeluarkan sebuah tuntutan agar wilayah-wilayah Dayak Besar dapat memiliki hak otonomi menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah yang muncul sebagai hasil dari kongres ketiga pada 15-20 Juli 1953
Potongan halaman depan Borneo Sinbun 8 April 1945 yang berisi propaganda kemenangan pasukan Jepang.(Sumber: Universiteit Leiden)


Oleh: Oleh: Reyhan Ainun Yafi | Komuntas Wisata Sejarah (KUWAS) Pontianak


Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Jepang melakukan berbagai cara dalam hal menarik simpati rakyat Indonesia agar dapat mendukung Jepang di Perang Asia Timur Raya. Sasaran pertama Jepang yaitu para wartawan atau orang-orang yang berkecimpung di dunia persuratkabaran. Jepang mengundang para wartawan untuk dapat pergi mengunjungi Jepang dengan tujuan menanamkan rasa hutang budi. Sehingga para wartawan bersedia dalam hal menyiarkan berbagai tulisan-tulisan yang mendukung Jepang di setiap terbitannya.

Artis Ario Bayu yang merani tokoh Sultan Agung. (Sumber: festivalfilm.id)


Oleh: Shafira Andjani Larasati (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura)

Judul film: Sultan Agung Tahta, Perjuangan, Cinta

Produser film:  

Dr. BRA. Mooryati Soedibyo


Sutradara film:  

Hanung Bramantyo


Pemain film:

Ario Bayu, Anindya Kusuma Putri, Marthino Lio, Putri Marino Adinia Wirasti, Christine Hakim, Meriam Bellina, Deddy Sutomo, Lukman Sardi, Teuku Rifnu, Wikana, Asmara Abigail, Hans de Kraker. 


Durasi film:  

2 Jam , 28 Menit


Penulis Naskah:

Ifan Adriansyah Ismail, BRA. Mooryati Soedibyo, dan  Bagas Pudjilaksono.


Produksi film

Mooryati Soedibyo Cinema.


Negara asal film/bahasa

Indonesia/Indonesia-Jawa


FGD yang diisi oleh Prof. Dr. Agus Mulyana di IKIP PGRI Pontianak (26/3)
(Dokumentasi: Humas IKIP PGRI Pontianak)

Fenomena berkembangnya nasionalisme di berbagai negara tidak dapat dipungkiri di latar belakangi oleh fenomena sejarah yang tentunya tiap bangsa mengalami dinamika yang berbeda-beda. Misalnya dalam fenomena bangkitnya nasionalisme di negara-negara Asia-Afrika di awal abad ke-20, dilandasi peristiwa revolusi, kejatuhan monarki, dan bangkitnya kaum terdidik terpelajar. Khususnya Indonesia, penjajahan atau kolonialisme sebenarnya juga menjadi pendorong lahirnya rasa persatuan dan kesadaran untuk membangun suatu negara yang bersatu. Kemudian perkembangan penggunaan bahasa Melayu yang belakangan berkembang menjadi bahasa Indonesia dan menjadi bahasa persatuan di dalam momentum 28 Oktober 1928. 

Penandatangan MoU antara IKIP PGRI Pontianak dengan PP
Masyarakat Sejarawan Indonesia, selasa (26/3).
(Dok: Basuki)

Perkembangan era industri 4.0 telah mengharuskan perguruan-perguruan tinggi yang ada memacu mutu dan pengalaman pembelajaran bagi mahasiswanya sehingga menghasilkan lulusan yang kompeten. Cara itu ditempuh perguruan tinggi salah satunya dengan menjalin kemitraan dengan pihak luar seperti korporasi, lembaga pemerintah maupun non pemerintah, organisasi, hingga NGO. Hal demikian lah yang mendorong IKIP PGRI Pontianak untuk menjalin kerjasama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). 

MSI yang merupakan wadah organisasi profesi sejarawan se-Indonesia, telah eksis sejak tahun 1970-an dengan memiliki cabang di sebagian besar provinsi di tanah air. Penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) itu dilakukan di Ruang Sidang Rektor Kampus IKIP PGRI Pontianak pada hari selasa, 26 Maret 2024, yang diteken oleh Ketua Umum PP MSI Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum, dan rektor Muhammad Firdaus, M.Pd. 

Dalam sambutannya, Rektor IKIP PGRI Pontianak itu menyambut baik dapat terjalinnya MoU ini yang menurutnya di era sekarang setiap civitas khususnya mahasiswa, harus jeli dalam mengambil peluang yang sekiranya bermanfaat dalam pengembangan diri dan memperluas jaringan. Ia berharap di masa depan ada alumni-alumni IKIP PGRI Pontianak yang mampu bersaing di tingkat nasional misalnya dengan menduduki jabatan-jabatan prestisius tertentu. 

Sedangkan Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum menyampaikan dengan adanya MoU ini, MSI senang dapat dilibatkan dalam usaha-usaha untuk membantu meningkatkan daya saing intitusi, terlebih tidak lama lagi IKIP PGRI Pontianak akan naik status menjadi universitas. Menurutnya perkembangan output lulusan pendidikan sejarah era dewasa ini tidak lagi semata diarahkan untuk menjadi guru sejarah, namun lebih fleksibel dengan memiliki kompetensi lain mengikuti perkembangan zaman yang saat ini serba digital. 

Prof. Agus, sapaan akrabnya, yang juga menjabat sebagai dekan di Fakultas Pendidikan IPS di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, menambahkan MoU di bidang pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat dengan IKIP PGRI Pontianak akan terlaksana dengan baik. Hal ini didukung karena kepengurusan MSI cabang Kalimantan Barat yang aktif, serta dosen-dosen di Program Studi Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak sendiri pun mayoritas tergabung dalam MSI. 

Penandatanganan MoU ini juga dihadiri oleh Ketua MSI cabang Kalimantan Barat, Dr. Basuki Wibowo, sejumlah dosen dan perwakilan mahasiswa (BEM) di lingkungan IKIP PGRI Pontianak. Harapannya setelah penandatanganan MoU ini segera dapat dieksekusi dan diadakan program-program seperti pelatihan atau workshop sejarah.

Penulis: M. Rikaz Prabowo

Murid-murid Sekolah Van Deventer School di Surakarta. (Sumber: nationalgeographic.co.id)


Oleh:Syela Joe Dhesita (Guru Sejarah MA Negeri Sukoharjo)

Nasihat bahwa seorang wanita harus ahli dalam mengurus hal terkait “Dapur, Sumur, dan Kasur” menjadi nasihat yang lumrah disampaikan oleh seorang ibu pada anak perempuannya dahulu. Seolah menjadi kodratnya, wanita hanya akan berkecimpung dalam tiga tempat itu saja. Nasihat seperti itu tidak relevan jika disampaikan di masa ini, dimana gerakan emansipasi dan kesadaran gender telah banyak digaungkan. Pada masa ini wanita memiliki kebebasan dalam menunjukan eksistensi dan peranannya dalam masyarakat. Wanita harus melalui berbagai proses sejarah panjang sebelum bisa menikmati kebebasan sekarang ini. Diskriminasi dan stigmasi sebagai gender nomor dua seakan dimaklumkan oleh para wanita pada masa tradisional. Hal ini disebabkan salah satunya oleh budaya patriarki yang mengakar dibeberapa wilayah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa.

Tank Jepang memasuki Medan 16 Februari 1942 
(Sumber foto: The Encyclopedia of Indonesia in Pacific War, 2010)

Oleh: Fadela Septi Wahyuni | Akademisi Pendidikan Sejarah



Dianggap daerah strategis dan benteng terdepan yang langsung menghadap Samudera Hindia, tentara Jepang membangun sejumlah perkubuan untuk menghadapi Sekutu. Meski kalah dan dipulangkan, sisa-sisa dan jejaknya masih bertahan hingga kini. 
Pegunungan Schwaner yang berada di perbatasan Kalimantan Barat 
dan Kalimantan Tengah. (Sumber: beritabanjarmasin.com)


Oleh: Voka Panthara Barega | Penulis Sejarah di Bandung

Dikenal sebagai orang asing pertama yang berhasil menembus jantung belantara Kalimantan dengan perjalanan dari Banjarmasin hingga Pontianak. Atas jasanya diabadikan sebagai salah satu pegunungan di pulau itu.

Kalimantan, sebuah pulau yang letaknya di tengah gugusan kepulauan Indonesia. Pulau terbesar ketiga di dunia ini digambarkan sebagai tempat yang penuh misteri, petualangan dan juga marabahaya. Setidaknya itulah yang digambarkan oleh para penjelajah Eropa berabad-abad yang lalu, dan memori tersebut masih membekas dalam ingatan masyarakat saat ini.


Mobil-mobil yang digunakan oleh rombongan Gubernur Jenderal G.P. Graaf van Limburg Stirum saat berkunjung ke Borneo Barat (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/692198)


Oleh:

Any Rahmayani | Pamong Budaya Bidang Sejarah

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII


Potret Nyonya Amalia dan dr. Rubini 
(Sumber: Koleksi Ahli Waris dr. R. Rubini Natawisastra)

Oleh: M. Rikaz Prabowo | Redaksi Majalah Riwajat

31 Agustus 1906 dr. Raden Rubini Natawisastra lahir di Bandung. Dikenal sebagai ahli penyakit tropis seperti malaria dan TBC, turut dalam usaha pengentasan stunting berkat kedekatannya dengan organisasi Perkumpulan Isteri Indonesia (PII).