Pergulatan Umat Kaharingan Dibalik Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah

Balai Basarah di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah (Sumber: Antara) 'Oleh: Voka Panthara Barega (Alumni Universitas Padjajaran) Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) pernah mengeluarkan sebuah tuntutan agar wilayah-wilayah Dayak Besar dapat memiliki hak otonomi menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah yang muncul sebagai hasil dari kongres ketiga pada 15-20 Juli 1953

Selain kaya akan sumber daya alamnya, Indonesia juga diberkahi dengan keberagaman suku bangsanya. Suku bangsa tersebut memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang ditunjukkan tersebut kemudian dirangkai menjadi satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di jantung Republik Indonesia tepatnya di Pulau Kalimantan, terdapat penduduk asli yang dikenal sebagai Suku Dayak. Salah satu yang menjadi ciri khas dari Suku Dayak adalah sistem kepercayaan mereka yaitu Kaharingan. Kaharingan merupakan agama asli Suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Dalam perkembangannya Kaharingan telah mengalami berbagai pasang surut. Pergulatan yang dilakukan para umat Kaharingan dalam memperoleh pengakuan mendorong mereka untuk terus melangkah maju. Salah satu yang menonjol adalah keterlibatan mereka dalam pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah.    

Perjuangan mereka pun tidak sampai di situ saja. Hingga saat ini, pun mereka masih terus memperjuangkan eksistensi mereka. Cita-cita mereka hanyalah satu, membuat pemerintah Republik Indonesia mengakui agama mereka.


Kaharingan, Ada Dengan Sendirinya

Tidak diketahui kapan, di mana dan siapa yang pertama kali mengenalkan ajaran Kaharingan. Namun dipercaya, kemunculannya telah ada sejak peradaban Dayak pertama kali terbentuk. Kaharingan memiliki arti ‘dengan sendirinya’ yang berasal dari bahasa Sangiang yang merupakan bahasa keagamaan umat Kaharingan. Penggunaan istilah Kaharingan berasal dari penggalan “Danum Kaharingan” yang artinya air kehidupan.

Menurut Anne Schiller dalam papernya berjudul Hindu Kaharingan Across the Time, orang yang pertama kali mencatat tentang Kaharingan adalah Carl Schwaner, seorang naturalis Jerman. Diceritakan dalam catatan perjalanannya antara tahun 1843 hingga 1848 yang berjudul Borneo, pada saat ia hendak memasuki kawasan hulu Kahayan, ia diperintahkan oleh seorang temenggung (kepala suku) untuk mengikuti upacara adat yang bertujuan sebagai tolak bala.

Dalam perkembangannya, Kaharingan belum mendapatkan nama hingga masa Pendudukan Jepang, tepatnya pada tahun 1944. Kaharingan mulai mendapatkan namanya, berdasarkan tulisan-tulisan Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan, dan Beberapa Keterangan tentang Bangsa Dajak.

Selain itu, Johannes Salilah, seorang mantan balian/basir (kepala keagamaan Kaharingan) juga memperkenalkan istilah Kaharingan, sebagai kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak, disamping agama Islam dan Kristen. Nama Kaharingan pun akhirnya digunakan oleh pemerintah militer Jepang, di mana penggunaannya masih bertahan hingga saat ini.


Desakan Membentuk Provinsi Baru

Setelah dijajah Jepang selama sekitar 3,5 tahun, akhirnya Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa merdeka melalui Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun suasana merdeka tidak sepenuhnya dirasakan oleh para penganut Kaharingan.

Mereka masih merasakan diskriminasi, dikarenakan Pemerintah Indonesia saat itu hanya melihat Kaharingan sebagai agama suku, atau aliran kepercayaan saja. Hal tersebut diperparah dengan pernyataan Departemen Agama yang tidak mengakui Kaharingan sebagai agama. Hal ini pula yang menyebabkan Kantor Urusan Agama Provinsi Kalimantan di Banjarmasin saat itu belum bisa melayani kepentingan umat Kaharingan.Dengan perlakuan kurang baik yang diterima, menyebabkan munculnya gerakan-gerakan yang memperjuangkan Kaharingan sebagai agama. Serikat Kaharingan Dajak Indonesia (SKDI) menjadi organisasi pertama yang mewadahi para umat Kaharingan. Organisasi ini dipimpin oleh Sahari Andung, dan berdiri pada tanggal 20 Juli 1950, sebagai hasil dari kongres pertama tokoh-tokoh Kaharingan yang dilaksanakan di Desa Tangkahen, Kabupaten Pulang Pisau.

Dalam disertasi Marko Mahin berjudul Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, dijelaskan bahwa SKDI telah mengeluarkan sebuah tuntutan agar wilayah-wilayah Dayak Besar agar dapat memiliki hak otonomi. Artinya mereka menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan ini muncul sebagai hasil dari Kongres SKDI Ketiga pada tanggal 15-20 Juli 1953. Tuntutan ini pun semakin dipertegas dalam Kongres SKDI Keempat, yang mana Provinsi Kalimantan Tengah harus disetujui sebelum Pemilu 1955. Tak kunjung mendapatkan respon yang positif, tidak membuat semangat SKDI memudar. Pada tahun 1956, ketua umum SKDI, Sahari Andung mendapatkan surat dari Christian Simbar, seorang pemimpin dari Gerakan Mandau Talawang Pantja Sila (GMTPS). Isinya berisi ajakan bergabung dengannya sebagai komandan, guna mempercepat pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. SKDI pun menyetujui ajakan tersebut.

Akhirnya SKDI dan GMPTS bekerja sama. Gejolak pun mulai terjadi di segala penjuru wilayah Kalimantan Tengah, di mana terjadi penyerangan yang menyasar kantor-kantor pemerintah serta pos-pos polisi. Hal tersebut berhasil membuat pemerintah mulai mempertimbangkan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah.

Christian Simbar, Tokoh Pemimpin GMTPS 
(Sumber: hadi-saputra-miter.blogspot.com)

Terbentuknya “Rumah Baru” Kaharingan

Dewan Rakyat Kalimantan Tengah dibentuk tidak lama setelah gejolak tersebut terjadi. Mereka mengadakan Kongres Rakjat Kalimantan Tengah pada tanggal 2-5 Desember 1956 di Banjarmasin. Terdapat banyak tokoh-tokoh asal Kalimantan Tengah yang turut hadir dalam kongres tersebut. Juniar Purba dalam buku Gagasan Persatuan Etnis Dayak menyebutkan bahwa dalam kongres tersebut menghasilkan keputusan terkait dengan pembentukan Dewan Nasional Kongres Rakyat Kalimantan Tengah. Dewan inilah yang menampung serta menyalurkan aspirasi pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah.

Diputuskanlah bahwa Provinsi Kalimantan Tengah akan mencakup tiga kabupaten, yaitu Kapuas, Barito, dan Kotawaringin. Pada tanggal 23 Mei 1957, dikeluarkanlah Undang-Undang Darurat No. 10 Tahun 1957 tentang pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan demikian Provinsi Kalimantan Tengah telah terbentuk, dengan gubernur pertamanya R.T.A. Milono. Peresmiannya pun dilakukan pada tanggal 17 Juli 1957, di mana Presiden RI saat itu, Ir. Soekarno melakukan pemancangan tiang pembangunan Kota Palangka Raya sebagai Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Tanggal 23 Mei pun dijadikan sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah.

Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah menjadi puncak dari perjuangan seluruh rakyat Kalimantan Tengah, tidak terkecuali umat Kaharingan. Terdapat banyak tokoh penting Kalimantan Tengah yang memainkan peranan penting, seperti George Obos, Tjilik Riwut, serta tokoh-tokoh lainnya. Umat Kaharingan berharap dengan berdirinya provinsi tersebut, mereka bisa memperoleh hak dan posisi yang sederajat dengan penganut agama resmi lainnya.

Selama masa-masa awal pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, baik Tjilik Riwut maupun gubernur selanjutnya, Ir. Reinout Sylvanus, keduanya mendukung perkembangan Kaharingan. Kedua gubernur tersebut telah melakukan lobi-lobi guna membuat Kaharingan dapat diakui sebagai agama oleh negara, serta mendukung kegiatan yang diselenggarakan. Para penganut Kaharingan tidak lagi dipersulit dalam hal administratif.

Cita-cita yang diharapkan umat Kaharingan akhirnya terwujud melalui pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Walaupun masih berskala lokal, setidaknya hak mereka sebagai warga negara dapat terpenuhi. Perjuangan mereka pun tidak sampai di situ saja. Hingga saat ini pun, tujuan akhir mereka masih belum berubah. Mereka menginginkan pemerintah Republik Indonesia untuk mengakui agama mereka, agar kedudukan mereka dapat sederajat dengan umat agama lainnya.

0 comments:

Post a Comment