Sejarah Perkembangan Sekolah Wanita di Mangkunegaran

Murid-murid Sekolah Van Deventer School di Surakarta. (Sumber: nationalgeographic.co.id)


Oleh:Syela Joe Dhesita (Guru Sejarah MA Negeri Sukoharjo)

Nasihat bahwa seorang wanita harus ahli dalam mengurus hal terkait “Dapur, Sumur, dan Kasur” menjadi nasihat yang lumrah disampaikan oleh seorang ibu pada anak perempuannya dahulu. Seolah menjadi kodratnya, wanita hanya akan berkecimpung dalam tiga tempat itu saja. Nasihat seperti itu tidak relevan jika disampaikan di masa ini, dimana gerakan emansipasi dan kesadaran gender telah banyak digaungkan. Pada masa ini wanita memiliki kebebasan dalam menunjukan eksistensi dan peranannya dalam masyarakat. Wanita harus melalui berbagai proses sejarah panjang sebelum bisa menikmati kebebasan sekarang ini. Diskriminasi dan stigmasi sebagai gender nomor dua seakan dimaklumkan oleh para wanita pada masa tradisional. Hal ini disebabkan salah satunya oleh budaya patriarki yang mengakar dibeberapa wilayah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa.

Pada kultur Jawa yang patriarki, perempuan dipandang sebagai pelengkap kaum pria “konco wingking”. Penyebutan ini merupakan pengembangan dialektida budaya adiluhung Jawa (Suwando, 1981: 65), yang menggambarkan posisi wanita sebagai subordinat. Masyarakat Jawa tradisional pada umumnya meletakan peranan wanita sebagai seorang istri semata. Jika sudah menikah, maka tugasnya tinggal dirumah untu mengurus rumah tangga dan menjaga anak-anak (Santoso, 1992: 57). Maka menempuh pendidikan bukanlah kodrat wanita, hal itu sama sekali tidak masuk dalam prioritas kaumnya atau bahkan dianggap tidak perlu.  Hal ini menyebabkan ketimpangan pendidikan antara wanita dan laik-laki pada masa itu. 

Kehidupan masyarakat Jawa tidak lepas dari keberadaan raja-raja. Para raja Jawa dipercaya sebagai pusat kosmis yang membawa ketentraman dan kesuburan bagi masyarakat. Sebagai salah satu kesultanan yang menguasai sebagian wilayah Surakarta, Mangkunegaran juga memiliki kekuasaan sebagai penguasa meskipun kedudukannya hanya setingkat Kadipaten. Keberadaan perempuan disekitar raja-raja Jawa memiliki posisi penting selama masa perjuangan. Hal ini menunjukan Pemerintahan Adipati Mangkunegaran menempatkan posisi perempuan sebagai makhluk yang memiliki peran dalam kestabilan sosial. Keberadaan perempuan dalam budaya Jawa mengungkap kesejatian kedudukannya dalam sistem sosial masyarakatnya. Begitu juga dalam sistem sosial masyarakat Mangkunegaran, perempuan menjadi bagian dari kepentingan raja dalam berinteraksi membentuk identitas sosialnya dengan penguasa swapraja lainnya dan pemerintah kolonial. 

Kesadaran ini berkembang pada awal abad-19 sejalan dengan diterapkannya Politik Etis. Sebagai sebuah kebijakan, politik etis berfokus pada bidang pendidikan, transmigrasi, dan irigasi membawa dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Berkembangnya pendidikan ala barat di tanah Jawa membawa kesadaran baru bagi kalangan raja-raja. Adipati Mangkunegaran mulai memperhatikan bagaimana pendidikan dapat menjadi tonggak perkembangan kerajaan. Hal yang menonjol dari pendidikan pada awal abad ke-20 adalah penerapa strata sosial yang ketat dalam mengakses pendidikan. Hal ini dugukanan agar pemerintah Belanda dapat dengan mudah mempetak-petakan masyarakat menjadi golongan. Ada 3 kelompok sosial di Hindia Belanda pada saat itu, yakni golongan Eropa, Timur jauh dan golongan Bumiputra. Sementara golongan Bumiputra kemudian dibagi lagi menjadi berbagai kelompok yakni bangsawan atau priyayi, kemudian golongan ulama, dan rakyat jelata (Mustoko, 1986). Semua kebijakan yang dikeluarkan Hindia Belanda termasuk dalam pendidikan akan disesuaikan dengan klasifikasi sosial tersebut. Dapat dipahami bahwa wanita juga dipisahkan menjadi dua kelompok. Dimana kelompok pertama adalah wanita bangsawan yang tentunya mendapat penghidupan yang lebih baik.

Dalam hal Pendidikan dan Penghidupan N. Dwijdjo Sewojo, instruktur dari Sekolah Pendidikan Guru di Yogyakarta, membagi Masyarakat jawa menjadi 4 kelas, dan diapun memberikan status kepada perempuan-perempuan dari masing-masing kelas (De Stuers, 2008).  1) golongan miskin, para perempuan di golongan ini tidak mendapatkan pendidikan. Kegiatan mereka adalah belajar mengenai pekerjaan di sawah untuk kemudian menjual hasilnya. Dikesempatan lain mereka belajar menjahit. 2) golongan menengah (cukup Mampu), para perempuan pada kelas ini juga tidak mendapatkan akses pendidikan, keseharian mereka digunakan untuk belajar menyelesaikan pekerjaan rumah, karena mereka biasanya menikah antara usia 12-15 tahun. Setelah menikah mereka bekerja dengan membantu suaminya di sawah atau berdagang. 3) golongan santri, pada kelas ini perempuan tidak bersekolah di lembaga pendidikan modern. Mereka mendapatkan pelajaran ilmu agama di rumah atau di pondok-pondok khusus perempuan. Biasanya mereka menikah sekitar umur 15 tahun. Perempuan golongan ini sebagian besar diperlakukan baik oleh suaminya, dikarenakan memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dua golongan sebelumnya. 4) golongan priyayi, perempuan yang masuk dalam kelas bangsawan ini dapat mengakses pendidikan di bangku sekolah. Sejak berusia 12 tahun biasanya dipingit dan memiliki banyak pembantu untuk membantu menyelesaikan pekerjaanya. Mereka baru dapat bebas dari pingitan setelah menikah, dan hidup sebagai istri dari suami yang telah ditentukan pihak keluarganya. 

Kondisi sedemikian yang dialami para wanita Jawa menimbulkan kesadaran kebebasan nasib para perempuan untuk menyudahi pingitan dan pernikahan dini. Kritik ini dipelopori oleh R.A Kartini melalui surat-suratnya yang akhirnya viral di seluruh Eropa. Sejalan dengan perkembangan tersebut pada awal abad ke-20 muncul berbagai sekolah ala barat yang akan diakui sebagai sekolah formal. Sayangnya sekolah formal yang berkembang tidak dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat pribumi. Selain penerapan strata sosial yang ketat, permasalahan gender juga menjadi salah satu syarat mengakses pendidikan. 

Kaum wanita sekali lagi belum dapat mengakses pendidikan ala barat tersebut. Hal ini dijelaskan dalam pidato Abendanon pada 1913 yang menyatakan bahwa, hingga pada saat itu belum ada sekolah umum untuk perempuan dari rakyat biasa (Abendanon,1913). Pada 1901 ia mengajukan proposal pendirian sekolah bagi kaum perempuan namun diitolak oleh pemerintah kolonial lantaran dianggap waktunya belum tepat. Pemerintah kolonial berjanji akan mendirikan sekolah khusus untuk perempuan. Pada 1916, tidak lebih dari 10% dari seluruh murid di sekolah kelas bawah dan 9% persen dari seluruh murid di sekolah desa adalah perempuan. Meskipun kecil dan tidak memberikan pengaruh signifikan, sekolah-sekolah yang didirikan oleh aktifis perempuan setempat dan penguasa lokal seperti di Mangkunegaran justru menyediakan sekolah modern khusus perempuan pada awal abad ke-20. 


Pendidikan Fondasi Kemajuan Mangkunegaran 

Surakarta Vorstenlanden atau yang biasa disebut Solo, pada masa Kolonial Belanda abad ke-19 dan 20 dikenal sebagai pusat pemerintahan wilayah dua raja yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Kondisi ini merupakan hasil pecahnya Kerajaan Mataram akibat perjanjian Giyanti yang kemudian melahirkan empat daerah kekuasaa baru dimana dua diantaranya merupakan Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Keempat kerajaan ini disebut Vorstenlanden yang berarti wilayah raja-raja dimana memiliki hak khusus berbeda dengan wilayah Jawa yang dikuasai pemerintahan kolonial lainnya (Sulistyo, 2021).

Praja Mangkunegaran terus melakukan pembenahan dalam menjaga eksistensinya dan meningkatkan kedudukannya dalam bidang sosial ekonomi budaya. Pendidikan merupakan salah satu fokus utama dalam meningkatkan kemajuan Mangkunegaran. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Mangkunegaran VI. Pada awalnya sang raja tidak begitu meperhatikan pendidikan, namun seiring berkembangnya sekolah-sekolah barat setelah diterapkannya politik etis, Mangkunegaran VI mulai menyadari kebutuhan rakyat terhadap pendidikan modern. Kesaradannya inilah yang melatarbelakangi tindakannya dalam mendirikan sekolah dengan bahasa pengantar Belanda untuk sekolah dasar. Lembaga Pendidikan yang diprakarsai Mangkunegaran VI ini kemudian dikenal dengan sebutan Sekolah Siswo. 

Sekolah Siswo merupakan sekolah pertama yang didirikan Mangkunegara pada 1912. Terletak di halaman Pura Mangkunegaran, sekolah ini kemudian disebut dengan Sekolah Ongko Siji atau sekolah angka satu. Sekolah ini diperuntukan bagi kaum laki-laki. Pada mulanya ini merupakan model pendidikan formal yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial sebagai pendidikan yang dapat diakses oleh kalangan Bangsawan. Syarat utama dalam memperoleh hak pendidikan ini adalah status keningratan yang dimilikinya. Pada mulanya sekolah ini memiliki rentang belajar sekitar satu sampai tiga tahun saja dengan materi pelajaran meliputi kemampuan berbahasa belanda, membaca, berhitung dan menulis. 

Sejak diterapkannya politik etis, terjadi banyak perombakan dalam kurikulum pendidikan di Hindia Belanda. Lama pendidikan dasar diperpanjang menjadi lima dan enam tahun. Hal tersebut juga terjadi pada sekolah ongko siji Mangkunegaran atau Sekolah Siswo Mangkunegaran. Diberlakukannya politik etis yang berakibat munculnya banyak lembaga pendidikan formal membuat Sekolah Siswo Mangkunegaran berubah nama menjadi Hollandsch Inlandsche School (HIS) Nomor IV Surakarta (Singgi, 1994). Perubahan ini tidak hanya sebatas nama semata, sebelumnya Sekolah Ongko Siji memiliki banyak kelemahan, Sekolah ini tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pelajaran dikarenakan terbatasnya pengetahuan yang diajarkan. Selain itu pembelajaran Bahasa Belanda yang baru diberikan pada kelas 3 nampak diskriminatif dibandingkan dengan Hollands Chinese school dimana mereka mendapatkan pelajaran Bahasa Belanda selama tujuh tahun (Nasution, 2001).

Kuatnya desakan dari berbagai organisasi nasional menyebabkan perubahan terhadap seluruh lembaga Sekolah Ongko Siji untuk menjadi HIS agar memiliki kedudukan yang sama dengan ELS, dan HCS. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan sejak pukul 07.30–13.00, sedangkan materi pembelajaran meliputi bahasa Jawa, berhitung, membaca, ilmu bumi, dan bahasa Melayu, sementara bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar. Murid yang boleh bersekolah di sekolah ini adalah anak-anak pegawai Mangkunegaran, anak-anak legiun dan anak priyayi. Sedangkan anak-anak dari kalangan biasa diperbolehkan masuk jika masih ada kuota yang belum terpenuhi. Seluruh fasilitas dan kegiatan belajar ditanggung sepenuhnya oleh Mangkunegaran, meskipun demikian sekolah ini tetap menarik biaya pendidikan meskipun besaran biaya yang dibayarkan tidak sama antara satu anak dengan lainnya (Wibowo, 2011: 228). Besaran biaya nantinya juga akan menjadi pertimbangan diterimanya siswa di sekolah ini. Hal ini menunjukan jika memang diskriminasi pendidikan masih dapat dirasakan.

Selain itu, Mangkunegaran juga mendirikan Sekolah Siswo Rini yang diperuntukkan untuk perempuan. Sama halnya dengan Sekolah Siswo, sekolah ini juga diperuntukkan bagi kerabat dan golongan abdi dalem, rakyat biasa dapat mengakses sekolah jika masih ada slot bangku yang kosong. Pembelajaran yang diajarkan meliputi kemampuan kerumahtanggaan dan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung. 

Pada 1916 keponakan raja sebelumnya, yakni Raden Mas Suryo Suparto kemudian menyandang gelar Mangkunegaran VII naik tahta sebagai pengganti raja berikutnya. Dalam pandangan terkait pendidikan, Mangkunegaran VII memiliki visi yang sama dengan pamannya. Mangkunegaran VII tetap memelihara dua sekolah yang didirikan pendahulunya, bahkan Mangkunegaran VII juga mendirikan beberapa sekolah desa dan sekolah MULO untuk kalangan pribumi yang diberi nama MULO School Mangkunegaran. 

Selain mendirikan beberapa sekolah, Mangkunegaran juga memberikan bantuan atau beasiswa pendidikan yang disebut dengan Studiefonds. Pendirian Studiefonds ini mulanya diinisiasai oleh Mangkunegaran VI pada 1912 atas kerjasamanya dengan G.F Van Wijck yang merupakan Residen Surakarta. Bantuan ini diberikan sebagai upaya memaksimalkan pendidikan bagi anak pegawai pemerintah dan perwira legiun yang kesulitan biaya pendidikan (Pringgokusumo, 1989). Kemudian pada pemerintahan Mangkunegaran VII dibentuklah sebuah panitia guna mengurus dana beasiswa tersebut. Meskipun beasiswa ini ditujukan sebagai bantuan bagi kerabat Praja Mangkunegaran nyatanya diskriminasi pendidikan untuk kalangan priyayi semakin jelas terasa. 

Sementara itu dana studiefonds berasal dari dua sumber, pertama dari angggaran praja, kedua diambil dari para peminjam yang telah lulus sekolah dan bekerja. Dapat dikatakan bahwa beasiswa ini tidak diberikan secara cuma-cuma. Penerima beasiswa nantinya harus bekerja dan mengembalikan dana beasiswa untuk digunakan sebagai anggaran beasiswa selanjutnya. Kemudian Mangkunegaran VII menambahkan lagi satu sumber dana beasiswa dari dana pribadinya (Jati, 2011).  Segala pembaharuan Pendidikan yang dilakukan Mangkunegaran VI dan Mangkunegaran VII di Surakarta memberikan dampak kemajuan yang pesat bagi Praja Mangkuenegaran sendiri. Hal ini Nampak pada semakin tinginya tenaga administrasi ahli yang dimiliki Mangkunegaran. Mangkunegan VII juga akhirnya banyak membangun fasilitas yang menunjang Pendidikan dan pembelajaran di lingkungan praja. Seperti pendirian Openbare Leeszaal atau ruang baca umum dan juga sebuah perpustakaan bernama Sono Pustoko. 


Pendidikan Wanita pada Masa Mangkunegara VII

Perkembangan Pendidikan wanita mendapat perhatian penuh pada masa Mangkunegaran VII. Meskipun pada pemerintahan sebelumnya telah didirikan sebuah Sekolah Rini, namun modernisasi pendidikan begitu terasa sejak pemerintahan Mangkunegaran VII. Pangeran Adipati Arya menyadari pentingnya pendidikan sebagai alat dalam mencapai kemajuan, keterlibatanya dalam Organisasi Budi Utomo semakin memperkuat pandangannya dalam menghapuskan kebodohan dan keterbelakangan bagi rakyat jawa terutama masyarakat yang hidup dibawah Praja Mangkunegaran. 

Perjuanganya dimulai dengan mendirikan sekolah-sekolah, tempat kursus pertanian, dan perpustakaan umum (Singgih, 1994). Mangkunegaran VII juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dalam bidang Pendidikan. Pemikiran ini juga dilatarbelakangi atas perjuangan R.A Kartini dalam memperoleh persamaan hak Pendidikan bagi kaum wanita. Oleh karena itu Mangkunegaran mulai mendirikan beberapa sekolah Putri diantaranya Pamulang Bocah Wadon, Siswo Rini dan Van Deventer School.

Pada 12 September 1912, Mangkunegaran VI mendirikan sekolah perempuan dengan nama Pamulang Bocah Wadon Ing Mangkunegaran. Sekolah ini diperuntukan bagi anak-anak priyayi dan abdi dalem di Mangkunegaran, namun bila masih ada kursi kosong rakyat biasa diperbolehkan sekolah di sekolah ini, pelajaran yang diberikan berupa membaca, menulis, berhitung, dan ketrampilan rumah tangga. Sekolah ini juga menerapkan biaya sesuai dengan kemampuan orang tua. Para siswa disini diajar oleh nyonya bangsa Eropa dibantu dengan murid guru sekolah wanita atau kweekeling wanita dari Eropa ataupun Jawa (Rijksblad Mangkunegaran, 1917).

Sekolah tersebut kemudian dirubah namanya menjadi Sekolah Siswo Rini, bertempat disebelah timur halaman Istana. Sekolah ini mengajarkan ketrampilan rumah tangga seperti menjahit, mengurus keuangan, membatik, memasak dan kesehatan, juga ketrampilan membaca, menulis dan berhitung sederhana. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan dan bahasa Jawa. Berkembangnya paham liberal menyebabkan dilarangnya Pendidikan agama dalam sekolah formal agar pendidikan bersifat netral (Mudyaharjo, 2001). 

Sama halnya sebelumnya sekolah ini diperuntukan bagi anak-anak opsir, pegawai, sentono, serta abdi dalem. Rakyat luar akan mendapatkan bangku sisa jika masih ada tempat.  Seluruh biaya pendidikan ditanggung Praja Mangkunegaran sementara syarat kesehatan dan suntik cacar menjadi syarat mutlak bagi pendaftaran siswa baru. Meskipun ditanggung Praja Mangkunegaran, para wali murid diwajibkan membayar sejumlah 30 sen perbulan yang sebagian uang tersebut akan dimasukan dalam kas Mangkunegaran. Berbeda dengan Sekolah Siswo, para perempuan ini hanya masuk sekolah selama tiga kali seminggu dan memulai pelajaran pada pukul 15.30-17.15 sore (Rijksblad Mangkunegaran, 1924).

Sekolah ini ada dibawah pengawasan sebuah komisi yang diketua Gusti Kanjeng Ratu Timur, yang merupakan Permaisuri Mangkunegaran VII. Komisi inilah yang nantinya akan menentukan naik dan lulus tidaknya siswa dari sekolah ini (Jati, 2011). Pada Tahun 1924   Sekolah Siswo Rini ini berganti nama menjadi Huishoud Cursus voor Mangkunegarnsche Meisjes atau Sekolah Kursus Rumah Tangga Mangkunegaran. Sama seperti pada sekolah sebelumnya pembelajaran yang diberikan bertujuan untuk membekali seorang perempuan sebelum berumah tangga hanya saja pada sekolah ini diberikan tambahan pelajaran menyanyi, menari, dan karawitan (mangkunegaran.com, 2018). Pada 1939 sekolah ini kembali berganti nama menjadi Sekolah Kerumah Tanggaan. 

Menurut Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 (2015), Tujuan pendidikan ini adalah untuk mendidik anak perempuan agar dapat menjadi ibu dan pemegang urusan rumah tangga yang baik. Kanjeng Gusti Ratu Timur, sebagai seorang permaisuri Adipati memiliki peran penting dalam setiap perkembangan pendidikan perempuan masa pemerintahan Mangkunegaran VII (Hastuti, dkk, 2020).  Sekolah ini berada di bawah pengawasan Van Deventer School dengan lama pendidikan di sekolah ini adalah tiga tahun. 

Van Deventer School adalah sekolah guru Vrobelkweek school atau Taman Kanak-kanak yang didirikan oleh Yayasan Van Deventer. Sekolah ini kemudian berkembang menjadi Nijverheidschool atau sekolah kepandaian putri. Sekolah ini ditujukan bagi anak perempuan yang ingin melanjutkan pendidikannya sebagai guru. Sekolah Van Deventer terdapat di Bandung, Semarang, Solo, dan Malang (Gouda, 2007: 153). Tidak heran jika lulusan Van Deventer school banyak yang mengajar di Sekolah Kerumahtanggaan Mangkunegaran ini (Pranata, 2021). 

Perhatian Mangkunegaran VII dalam pendidikan perempuan lainnya adalah dengan pendirian Solosche Van Deventer Vereeneging. Sekolah ini merupakan sekolah menegah swasta dibawah naungan Van Deventer Vereniging. Sekolah ini dapat berdiri atas bantuang dana dari Praja Mangkunegaran (Wasino, 1996). Sekolah ini diresmikan pada 12 Maret 1927 di dalam kompleks dalem Pangeran Notoningratan yang telah dibeli Van Deventer Fonds seharga f-20.000 (gulden). Gagasan awal berdirinya sekolah ini adalah adanya keinginan Mangkunegaran VII untuk mendirikan sekolah asrama putri yang sejalan dengan program pendidikan Van Deventer. 

Didirikannya sekolah ini adalah bentuk keprihatinan Mangkunegaran VII terhadap nasib wanita yang mengalami pernikahan dini sebelum benar-benar matang dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang wanita dan ibu. Selain itu Van Deventer adalah teman baik Mangkunegaran VII selama bersokolah di Belanda tahun 1913-1915. Untuk mengenang dan menghormati jasanya, Mangkunegaran VII bersedia mendanai pendirian sekolah Van Deventer di Surakarta di bawah wilayah Mangkunegaran tersebut. 

Seperti halnya sekolah-sekolah lain di daerah Mangkunegaran, dalam penerimaan siswa, Sekolah Van Deventer mengutamakan putri pejabat tinggi di dalam keraton dan dari luar keraton, sedangkan siswa dari pribumi boleh masuk jika ada kursi kosong. Sekolah ini juga menerima lulusan dari Kartini School, Europese Lagere School (ELS) atau HIS. Muatan pelajaran yang diajarkan lebih lengkap, diantaranya adalah ketrampilan membatik, seni budaya, bahasa belanda, ilmu bumi, kesehatan, ilmu hewan, kerajinan tangan, menari dan karawitan serta bahasa Jawa juga tetap diberikan. Hal ini dilakukan agar mereka tidak meninggalkan tradisi. Mangkunegaran memberikan fasilitas dan kesempatan yang sangat luas bagi pendidikan ini, seperti halnya memperbolehkan pendopo Mangkunegaran digunakan sebagai tempat belajar gamelan, menyanyi dan menari. Gusti Kanjeng Ratu Timur sendiri yang akan mengajari para pelajar ini menari Serimpi (Wahyuni, 2005). 

Sekolah ini menarik minat berbagai kalangan bangsawan untuk menyekolahkan putra putrinya di sekolah ini. Ini ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah siswa yang pada tahun pertamanya hanya memiliki 24 siswi kemudian berkembang menjadi 100 siswi di tahun 1938. Dalam penyampaian materi pelajaran, Sekolah Van Deventer hanya masuk lima kali dalam satu minggu dan proses belajar mengajarnya dilaksanakan mulai jam 07.30, sampai 12.30 dengan dua kali istirahat selama 15 menit (Setiaji, 2011). 

Mangkunegara VII menempatkan pendidikan sebagai hal penting dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Perhatiannya pada bidang pendidikan tidak memandang perbedaan gender yang kerap dilakukan di masanya. Meskipun demikian Mangkunegaran VII menerapkan pendidikan yang tegas dan bertanggung jawab bagi putra-putrinya. Baginya menguasai bahasa Belanda adalah syarat yang harus ditempuh anak-anaknya sebelum masuk ke sekolah-sekolah. Maka tida heran jika putri-putri Mangkunegaran VII menempati posisi penting dalam kancah perjuangan Indonesia. 

Salah satunya Partini, putri pertamaya yang pada tahun 1911 berhasil menjadi salah satu perwakilan wanita dalam Java Instituut (Roshwita P. Singgih, 1990). Meskipun secara luas menerapkan pendidikan modern di bawah kekuasaanya, namun Mangkunegaran VII tidak meningglkan budaya Jawa dan tradisi kerajaan. Ia selalu meletakan budaya tradisi dalam pendidikan modern ala barat dalam satu wadah. Selain itu pandangannya yang humanis terhadap perbedaan gender menjadikan bagaimana perkembangan pendidikan di Mangkunegaran bagi kaum wanita di Surakarta menjadi lebih maju. Misalnya bagaimana Gusti Nurul, putrinya dengan permaisuri Ratu Timur dibekali dengan keahlian menunggang kuda oleh ayahnya. Dimana pada saat itu hal tersebut masih teramat sangat jarang terjadi.

Didasarkan pada keinginan Mangkunegaran untuk menyiapkan perempuan-perempuan yang kuat, mandiri serta mencintai tradisinya. Mangkunegaran VII mampu mengembangkan sekolah Van Deventer ini hingga menjadi sekolah favorit kaum perempuan di wilayah Surakarta. Mangkunegaran ingin melahirkan ibu dan istri yang terdidik baik secara akademis, pengalaman, dan pengetahuan budaya sebelum memasuki bahtera rumah tangga. 


Daftar Pustaka 

Aga Kristianing Jati. 2011. “Pengaruh Studiefonds Terhadap. Kemajuan Pendidikan Wanita di Mangkunegaran Tahun 1912-1940”. Skripsi. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 

Amin Singgih. 1924. Oesaha dan Djasa Marhoem Seri Padoeka Jang. Moelia Mangkunegara VII Terhadap Pendidikan dan Pengajaran. Surakarta : Reksa Pustaka.

A.K. Pringgodigdo. 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta: Rekso Pustoko.

Aris Himawan Setiaji. 2011. “Wanita Jawa Dalam Pendidikan Kolonial”. Skripsi.Fakultas 4Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surakarta.

Cora Vreede-De Stuers. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu.

Dian Lestari Hastuti, dkk. 2020. “Peran Dan Kedudukan Perempuan Mangkunegaran Dalam Sejarah Perkembangan Kebudayaan Jawa Masa Mangkunegara I-VIII”. Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat Volume 3 Tahun 2020.

Eko Sulistyo. 2021. Jejak Listrik Di Tanah Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Galih Pranata. 2021. Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru-guru Perempuan di Surakarta diunduh melalui https://nationalgeographic.grid.id/ pada 20 Mei 2022 pukul 19.09 WIB.

M.F. Mukti. 2019. “Pendidikan, Fondasi Kemajuan Mangkunegaran” melalui https://historia.id/ pada 20 Mei 2022 pada 19.17.

Nasution. 2001. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

Puro Mangkunegaran official website. 2018. Sekolah Putri Mangkunegaran melalui https://puromangkunegaran.com/ pada 20 Mei 2022 pukul 20.00 WIB

Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 Nomor 33.  Koleksi Reksapustaka: Mangkunegaran 

Rijksblad Mangkunegaran. 1924. Koleksi Reksapustaka: Mangkunegaran.

Soemarsono Mustoko. 1986. Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta;. Balai Pustaka.

Wasino. 2015. Modernisasi di Jantung Budaya Jawa : Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Buku Kompas.

Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

0 comments:

Post a Comment