Citra Baru Pesisir Barat Kalimantan: Jalan Darat & Modernitas Awal Abad ke-20


Mobil-mobil yang digunakan oleh rombongan Gubernur Jenderal G.P. Graaf van Limburg Stirum saat berkunjung ke Borneo Barat (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/692198)


Oleh:

Any Rahmayani | Pamong Budaya Bidang Sejarah

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII



 “…Waktoe itoelah djalan-djalan besar jang sekarang ini dibikin, dan segala djalan jang tidak baik, dibetoelkan. Djalan-djalan waktoe itoe hanja diterangi oleh lentera minjak sadja…Di belakang hari lampoe minjak tanah ini diganti dengan lampoe gasoline…Datanglah orang-orang dari negeri lain, seperti dari Madoera, Bandjarmasin, Betawi d.l.l. memboewat roemah di djalan jang baroe diperboewat itu…begitoepoen djoega dengan warong-warong makanan oentoek keperloean sehari-hari soedah banjak poela kita lihat berdiri disepanjang djalan besar…dan kendaraan apakah jang akan menempoeh djalan itoe? Sado? Deleeman atawa pedati? Kalau sado soedah tentoe mesti ada poela koedanya, begitoe djoega deleeman. Kalau pedati tentoe soedah mesti ada poela kerbau atawa sapinya, apakah jang baik? Berpikir begitoe begini achirnya maka dalam tahoen 1916 dimasoekkanlah auto Ford jang pertamakali oleh toean Theng Seng Hie jang meninggal, atas permintaan toean controleur Caron…”(Oetoesan Borneo, 7 Januari 1928).


Gairah menyambut teknologi berupa jalan raya begitu terasa dalam kutipan tulisan dalam surat kabar lokal di atas. Dengan jalan, kebutuhan akan cahaya, ruang, dan alat transportasi mulai mengubah bentuknya. Dari lampu minyak menjadi lampu gasolin, dari sado dan pedati menjadi mobil. Jaringan perhubungan yang terbentuk melalui jalan raya menjadi salah satu fitur yang menciptakan ruang baru kehidupan modern yang tercipta di wilayah pesisir barat Kalimantan dan sekitarnya. Dengan kata lain, jalan menjadi salah satu pintu masuk pengalaman modernitas sebagaimana yang terlihat dari kutipan di atas. Pesisir barat Kalimantan, sebuah wilayah di ujung negeri, turut merasakan teknologi jalan yang dikembangkan secara masif di Indonesia masa kolonial. Lebih luas lagi, wilayah pesisir ini, turut merasakan pengalaman atas pengaruh perkembangan modernitas di Asia Tenggara (kontemporer) pada awal abad ke-20. 

Proyek jalan raya memenangkan “kompetisi” proyek jalur transportasi darat di pesisir barat Kalimantan setelah mengalahkan ide pembangunan jalur trem dan kereta api yang diajukan oleh para pemodal sepanjang akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kawasan pesisir barat yang dimaksud dalam proyek ini adalah jalan dari Pontianak menuju Sambas. Oleh karenanya, kala itu, jalan tersebut dikenal dengan sebutan Pontianak Sambas Weg atau kustweg (jalan pesisir).

Peta Jalan di Kalimantan Bagian Barat hingga 1818

(Sumber: J.C.F van Sandick dan V.J van Marle,1919: 80)

Jalan yang keras dan bersih menjadi satu bagian utama yang dituntut sebagai bentuk modernitas jalan di pesisir barat Kalimantan. Pengerasan jalan menjadi bagian utama dalam proyek pembangunan jalan yang masif dilakukan pemerintah kolonial sejak akhir abad ke-19. Hal itu diikuti dengan tuntutan kebersihan jalan sebagai keharusan bagi jalan baru ini. Jalan-jalan besar selalu dibersihkan dari kotoran.

Citra jalan pesisir diperkuat dengan perkenalan dengan alat transportasi baru terutama sepeda, motor, dan mobil. Seorang penulis artikel surat kabar Borneo Barat Bergerak pada 1920 melalui laporan pandangan matanya mengategorikan kepemilikan kendaraan sebagai berikut: pertama, mobil yang dikendarai oleh pegawai, orang kaya, tauke-tauke dan pengantin laki-laki pribumi; kedua, kereta angin/ lereng dan kereta ribot; dan ketiga, perahu vervoermiddel untuk orang-orang kebanyakan. 


Pemilik Mobil Pertama

Pengusaha Tionghoa terkenal di Pontianak, Theng Seng Hie, mendatangkan mobil untuk pertama kalinya di Kalimantan bagian barat pada tahun 1916. Mobil bermerk Ford ini didatangkan atas permintaan Controleur Pontianak, Tuan Caron. Mobil pada periode ini lebih sering digunakan oleh para pejabat kolonial yang mengunjungi wilayah-wilayah pesisir barat. 

Pedagang Tionghoa menjadi kelompok pemilik mobil selanjutnya. Peningkatan penggunaan mobil terlihat, terutama di wilayah dengan kondisi jalan yang relatif baik. Penggunaan mobil oleh pedagang Tionghoa tampak meningkat di wilayah Singkawang dan sekitarnya sepanjang 1919-1920. Hal ini dapat dimaklumi mengingat sektor perdagangan di wilayah ini sebagian besar dikuasai oleh kelompok Tionghoa. 

Adapun sepeda menjadi alat transportasi paling popular mengikuti perluasan dan perbaikan jalan raya. Semakin banyak jalan semakin banyak pula sepeda yang melewatinya. Alat transportasi ini menjadi alat transportasi modern yang paling terjangkau. Hal ini diamati oleh seorang jurnalis pada salah satu proyek pembangunan jalan di dalam kota Pontianak yang segera menarik penduduk untuk memiliki sepeda. Kebutuhan besar akan sepeda memunculkan usaha persewaan sepeda harian di kota ini. Sepeda menjadi bagian yang membentuk citra jalan pesisir barat Kalimantan berbeda dengan citra jalan di Jawa. Jika di Jawa, cikar dan gerobak lalu lalang mengangkut barang dalam jumlah yang tidak begitu banyak, maka fungsi itu digantikan oleh sepeda di sini. 

Bergesernya alat transportasi publik berlangsung lebih perlahan. Sampan dan kapal-kapal beratap masih digunakan di parit sepanjang jalan pesisir namun semakin hari semakin ditinggalkan. Pemindahan bahkan penutupan parit dalam perbaikan jalan pesisir turut menjadi sebab menurunnya aktivitas perhubungan melalui parit. Bus sebagai sarana yang lebih modern hadir sebagai alat transportasi serbaguna. Penggunaan bus pertama dimulai pada rute Pontianak-Singkawang. Terminal bus berada di titik nol jalan pesisir, yaitu Kampung Baru, Siantan. Pengangkutan barang dan penumpang dilakukan sekaligus dalam satu bus. Pemandangan yang umum terlihat dari angkutan ini adalah atap penuh dengan koper, keranjang durian, kantung-kantung ikan, kaleng-kaleng minyak penuh bunga dan rumput, bawang dan sayuran bahkan hewan ternak (kambing). Perjalanan menuju Singkawang dapat ditempuh dengan membayar f. 1.25. Jika dilihat dari efektivitas pengangkutan, kapal-kapal yang menyusuri parit lebih tertata dibandingkan armada bus. Biasanya kapal atau sampan yang digunakan untuk mengangkut produk niaga berbeda dengan kapal yang mengangkut penumpang dan barang bawaannya. Namun, jika dilihat dari efektifitas waktu, bus menjadi pilihan yang lebih baik. Perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang dapat ditempuh dalam waktu 6 jam sedangkan perjalanan melalui parit membutuhkan waktu lebih dari dua hari.

Sarana transportasi baru lain adalah becak. Kedatangan kendaraan ini tidak diketahui secara pasti namun kehadirannya cukup menyita perhatian terutama oleh pengendara angkutan publik lainnya di tahun 1940an. Walaupun becak tidak digunakan pada rute perjalanan panjang, namun konflik antara becak dan taksi (istilah taksi digunakan penduduk untuk menyebutkan mobil tambangan, tidak selalu berbentuk sedan) cukup menunjukkan persaingan yang ketat antara keduanya. Hingga 1941, angkutan umum berupa taksi rupanya hanya beroperasi di dalam kota Pontianak dan sekitarnya saja. Perserikatan sopir dan montir mengeluhkan bergesernya minat penumpang taksi yang mulai beralih ke becak. Becak dinilai lebih murah dan mampu mencapai tujuan tepat di titik yang dituju. Mereka meminta pejabat yang berwenang untuk dapat menentukan standar tarif bagi becak sehingga keduanya mampu bersaing dengan baik. Bersamaan dengan tuntutan atas pemberlakuan tarif standar bagi becak, para pengemudi taksi meminta agar mereka dapat beroperasi di rute-rute pendek sepanjang jalan pesisir yang selama ini hanya dilayani oleh bus jurusan Pontianak-Singkawang. Menurut mereka, keterbatasan jumlah bus mengakibatkan orang-orang yang hendak bepergian menuju daerah di antara Pontianak-Singkawang, seperti Wajo, Jungkat, Peniti dan Sungai Purun tidak dapat terangkut setiap waktu. Hal ini tentu mengakibatkan mobilitas penduduk tetap rendah. Oleh karenanya, kekosongan ini dianggap sebagai peluang bagi para pengemudi taksi.


Kehadiran Klub Otomotif

Potret jalan modern tentu tidak semata tentang jalan bersih dan keras. Regulasi lalu lintas muncul seiring dengan konsepsi jalan modern. Rambu-rambu jalan sebenarnya hanyalah satu diantara sekian banyak regulasi yang muncul untuk mengatur lalu lintas di jalan raya. Rambu-rambu yang terpasang di jalan pesisir dikerjakan oleh Koninklijke Nederlandsch-Indische Motor Club (KNIMC) atas permintaan pejabat di Mempawah dan Sambas sekaligus sebagai hadiah atas masuknya dua pejabat tersebut ke dalam klub tersebut. Keikutsertaan dalam keanggotaan klub motor dan mobil menjadi sebuah trend lain segera yang diikuti dengan adanya jalan pesisir. Klub ini adalah klub elite yang diikuti oleh kelompok-kelompok kaya dan memiliki pengaruh di dalam masyarakat. Sebagai satu-satunya klub pemilik kendaraan bermotor kala itu, klub ini memiliki peranan penting dalam regulasi berkendaraan. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, klub ini memperkenalkan rambu-rambu di jalan pesisir. 

Klub ini diketahui memiliki satu anggota dari Kalimantan bagian barat pada tahun 1925. Tahun 1936, klub motor yang telah tersohor di Jawa ini memiliki 9 keanggotaan di Kalimantan Barat. Klub yang berawal dari Java Motor Club (JMC) ini, ternyata tidak sekedar menjadi perkumpulan elite pemilik mobil dan motor saja. Kartu keanggotaan klub ini memungkinkan untuk menjadi bukti lisensi berkendara. Klub ini memegang peranan dalam meletakkan imaginasi jalanan modern di Indonesia masa kolonial termasuk menginstalasi rambu lalu lintas jalan raya, rambu peringatan, dan pelat nama tempat. Pendek kata, klub ini melengkapi aturan lalu lintas ketika pemerintah tidak siap untuk melengkapi infrastruktur jalan dengan regulasinya. Walaupun demikian, pada tahap awal, rambu-rambu yang dibuat sebenarnya tidak begitu memengaruhi lalu lintas jalanan pesisir kala itu. Kondisi jalan yang beragam serta intensitas kendaraan yang tidak begitu banyak membuat perilaku berkendara di wilayah ini mengabaikan aturan baru yang sedang diperkenalkan, seperti membunyikan klakson dan tanda berhati-hati melewati tikungan. Bahkan kartu keanggotaan klub ini memungkinkan untuk menjadi bukti lisensi berkendara. Klub ini diketahui memiliki satu anggota dari Kalimantan bagian barat pada tahun 1925. Hingga tahun 1936, keanggotaannya mencapai sembilan orang termasuk empat anggota baru masuk pada tahun 1932 dan 4 lainnya di tahun 1935.

Perbaikan jalan raya pesisir memunculkan usaha-usaha di bidang transportasi. Selain bus, perusahaan-perusahaan mobil tambangan/ sewaan mulai bermunculan. Untuk keperluan ini, pembangunan stasiun bus dan mobil mulai direncanakan di sepanjang jalan pesisir.

Jalan pesisir sebenarnya tidak selalu menciptakan peluang ekonomi yang benar-benar baru, kecuali usaha-usaha di bidang transportasi darat. Pusat-pusat perniagaan berupa pasar di pesisir sebenarnya sudah tumbuh sejak lama. Hanya saja, jalan pesisir cukup mempermudah pembentukan jaringan untuk menuju pasar-pasar yang ada. Menariknya, perbaikan jalan pesisir menciptakan pengaruh yang berbeda di setiap pasar tersebut. Hal ini terjadi di lanskap Mempawah yang memiliki ruas jalan terbaik di sepanjang pesisir. Meskipun sama-sama terletak di pinggir jalan pesisir, namun Pasar Mempawah dan Pasar Sungai Pinyuh mengalami keadaan yang berbeda. Pasar Mempawah yang sebelumnya merupakan pasar terpenting di wilayah tersebut mengalami penurunan yang cukup drastis. Pasar ini sebelumnya menjadi pusat pemberhentian terakhir bagi produk-produk dari hulu yang didistribusikan melalui Sungai Mempawah. Keadaan menjadi berbeda ketika jalan percabangan dari pesisir menuju pedalaman dibangun di Sungai Pinyuh. Sungai Pinyuh yang berada di pertigaan jalan mengambilalih posisi Pasar Mempawah dengan peningkatan jumlah toko dan pedagang. Hal ini sempat menjadi pertimbangan K.P.M. untuk menjadikan Sungai Pinyuh sebagai titik bagi kapal-kapalnya menuju Jawa. Oleh karenanya, dalam laporan serah jabatannya, asisten residen Mempawah memandang perlu dibangunnya fasilitas-fasilitas pendukung seperti gudang-gudang dan kantor pos pembantu di sekitar pasar tersebut. Dalam skala lebih kecil, pasar-pasar lain di wilayah ini mulai berkembang seperti di Sungai Purun, Peniraman, Sungai Tionghoa, Sungai Bakau Kecil, Sungai Bakau Besar, Pat Kok Tin, Kuala Mempawah, Semudun, Sungai Kunyit dan Sungai Duri. Demikian juga di Singkawang. Selain pasar Tionghoa di Singkawang, pasar ditemukan di Koh Piang, Sempadang, Selakau, Sinam Kulor, Budok, Pak Min Theo, Montrado, Sirukam, Sibale, Lohabang, Capkala, Sungai Duri, Sungai Pangkalan, Sungai Raya, Teluk Suak, Sedau, Pajintan dan Sakok.

Jalan di Pasar Mempawah

 (Sumber: J.R. Doodeheefver, 1937:9)


Perkembangan jalan beserta moda transportasi berpadu dengan keadaan ekonomi yang membaik di tahun 1937an secara tidak langsung menciptakan kebiasaan rekreasi. Beberapa kelompok masyarakat tercatat sering melakukannya dengan menggunakan bus. Mereka melakukan rekreasi ke daerah-daerah wisata yang untuk menuju ke sana telah tersedia jalan yang cukup baik. Hal ini dilakukan oleh Sultan Sambas dan beberapa pejabat istana serta pimpinan organisasi saat mengadakan rekreasi menuju Danau Sebedang menggunakan bus. Demikian pula Perkoempoelan Guru Pontianak yang berekreasi menuju Gunung Poteng di Singkawang. Perjalanan menuju tempat ini telah difasilitasi oleh jalan Singkawang-Bengkayang yang dapat dilalui bus. Jalur ini pula yang dilalui oleh para pastur untuk berkunjung ke Nyarumkop (wilayah ini merupakan pusat berkembangnya aktivitas misionaris di Kalimantan Barat) dan berekreasi ke Gunung Poteng menggunakan bus. 

Demikianlah, jalan darat yang sejatinya dibuat pemerintah kolonial untuk tujuan pengawasan dan perekonomian, turut memperkenalkan ruang modernitas yang diterima, diterjemahkan, dan diformulasi dalam bentuk baru oleh kelompok-kelompok yang ada di pesisir barat Kalimantan. 

0 comments:

Post a Comment