![]() |
Potret K.H Ahmad Dahlan di depan padepokannya (suaramuhammadiyah.id) |
Oleh: Hardiansyah | Sejarawan Bengkulu
Siapa yang tak kenal dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan? Beliau adalah seorang inisiator hadirnya Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia.
Kajian tentang Kiai Dahlan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dan penulis biografinya baik muridnya sendiri seperti Kyai Syuja’ dengan buku berjudul “Islam Berkemajuan”, Yunus Salam, Sutrisno Kutoyo, Hamka, Muhammad Idris sebagai karya tesisnya di Mc. Gill University hingga tulisan dari Museum Kebangkitan Nasional seputar Kiai Dahlan dan perjuangannya.
Selain kisah hidupnya, pemikiran Kiai Dahlan pun banyak dibahas. Kiai yang sangat sedikit meninggalkan karya tulis ini ditafsirkan dengan meraba aksi-aksi dan tindakannya ke ranah ontologi dan epistemologi. Demikianlah banyak peneliti yang mencoba menghadirkan pemikiran pendidikan Kiai Dahlan, pemikiran keagamaannya, sikap politiknya hingga gerakan filantropinya.
Masing-masing peneliti menyematkan gelar padanya seperti reformis Islam karena ia mencoba untuk mempurifikasi ajaran Islam dengan kembali pada Al-Qur’an dan sunnah, tokoh pendidikan Islam yang mengawinkan antara pendidikan tradisional Islam dan pendidikan modern ala barat hingga mujadid yang namanya disejajarkan dengan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha maupun Muhammad Iqbal.
Pengaruh
pada diri Kiai Dahlan
Walau bagaimanapun Kiai Dahlan adalah seorang Jawa yang lahir dan besar dalam lingkungan Jawa. Sebagai seorang yang lahir dalam pusat kekuasaan Jawa, Kiai Dahlan tak dapat ditarik keluar dari kultur dimana ia tinggal sehingga sangat logis lingkungan pertama yang membentuk pemikiran dan wataknya adalah budaya Jawa.
Prof. Ahmad Najib Burhani menyadari hal tersebut. Dalam penelitiannya ia mencoba mendeteksi corak budaya Jawa dalam gerak Muhammadiyah pada masa awal yang ternyata lebih inklusif dan toleran. Dahlan mampu bekerjasama dengan siapa saja. Ia mampu mengimbangi kemampuan lawan bicaranya dengan bacaannya yang luas. Ia tidak minder memberikan kuliah Islam pada anggota Budi Utomo Yogyakarta yang terkenal sebagai organsisasi intelektual para bangsawan jawa bahkan menjadi anggotanya. Ia juga masuk dalam perkumpulan Sarekat Islam dan Jamiatul Chair yang didominasi oleh golongan Arab. Bahkan ia tidak menimbulkan friksi tajam dengan elite tradisional Jawa, sang penguasa Keraton.
Muhammadiyah yang didominasi oleh warna Jawa yang kuat mendapatkan warna baru saat organsiasi ini mendapatkan pengaruh dari Sumatera Barat. Haji Rasul, yang merupakan salah satu tokoh “Kaum Mudo” di Minangkabau menyusun kekuatan keluarga dan murid-muridnya untuk menyebarkan Muhammadiyah setelah ia terusir dari sekolahnya sendiri, Sumatera Tawalib. Corak Jawa yang lebih akomodatif akhirnya bertemu dengan corak Minangkabau yang lebih rigid memperkaya corak gerakan Muhammadiyah.
Dahlan menjalani laku sebagai orang Jawa yang halus, “mikul ndhuwur mendem jero”, sedapat mungkin menghindari konflik serta menjunjung tinggi kebersamaan. Walaupun ia membuat geger dengan perubahan kiblat Masjid Gede, Dahlan tidak bertindak lebih dari itu. Ia lebih memilih mengabaikan kritik-kritik pedas yang tidak berguna dan memilih untuk fokus pada usaha-usahanya. Ia menarik kalangan keluarga dan pemuda Kauman untuk nbergabung dengan Muhammadiyah. Tidak salah kemudian jika awal perkembangan Muhammadiyah sendiri di dominasi oleh orang-orang Kauman, murid Dahlan sendiri karena disamping pembatasan izin yang diberikan pemerintah kolonial untuk mengembangkan Muhammadiyah, murid-murid beliau inilah yang secara eksplisit memahami kemana Dahlan hendak membawa Muhammadiyah.
Lokus kedua yang membentuk pemikiran dan gerakan Kiai Dahlan adalah Timur Tengah. Dahlan muda berangkat ke Mekkah dengan sebuah kegundahan dalam dirinya, bagaimana Islam mampu menjawab tantangan ketidakmurniannya serta masalah sosial yang ia temukan. Hasil pendidikannya di Timur Tengah menjadikan Dahlan sebagai seorang ulama namun juga mengetuk hati terdalamnya tentang kondisi bangsanya dan umat Muslim yang kian tertinggal. Ia mendapatkan jawaban tentang itu semua dari gerakan reformis Islam yang dikumandangkan Al-Afghani, Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha. Para Reformis tersebut menyajikan sebuah pandangan yang dalam pikirannya mampu menjawab masalah sosial kaum muslimin. Walaupun guru-guru Dahlan di Mekkah tidak memberikan sinyal positif terhadap gerakan pembaharuan Islam tersebut, namun Dahlan yang berpikir pragmatis berpendapat bahwa pandangan golongan reformis ini bisa dikaji.
Hal yang sering kita lupakan adalah Kiai Dahlan merupakan seorang yang tak pernah puas diri. Ia berhasil membaca peta zaman yang berubah serta mengakui kelemahannya yang hanya mendapatkan pengetahuan tradisional agama. Ia seolah memiliki kurikulum sendiri untuk pengembangan pemikiran dan pribadinya. Selain membaca majalah kaum reformis yang masuk ke tanah Jawa dengan diseludupkan, Dahlan juga bergabung dengan Sarekat Islam dan Jami’atul Chair. Selain itu ia tanpa segan dan prasangka bergabung dengan Budi Utomo, sebuah organsiasi intelektual bangsawan Jawa yang kooperatif dengan pemerintah kolonial
Bergabungnya ia dengan Budi Utomo merupakan tanda lokus ketiga pengetahuannya yaitu pengaruh Barat. Pengaruh ketiga ini kadang luput dari para peneliti yang menggambarkan Kiai Dahlan hanya sebagai seorang Reformis Islam, penentang Takhayul Bid’ah dan Khurafat serta kembali pada Qur’an dan sunnah. Dahlan memberikan ruang besar bagi akal dan tindakan rasional daripada mistifikasi ajaran islam. Hingga saat ini, Muhammadiyah masih dianggap sebagai organisasi Modernis Islam terbesar di Indonesia.
Alex Inkeless dan David Smith berpendapat bahwa ciri masyarakat modern antara lain keterbukaan, mampu membentuk opini terhadap isu yang berada di luar maupun di dalam lingkungannya, tidakmenutup diri dari kenyataan, berorientasi pada masa kini dan masa depan dibandingkan dengan masa lalu, percaya bahwa manusia mampu menguasai lingkungan bukan sebaliknya (rasional) dan dunia dapat dikalkulasikan (penuh perhitungan). Penggunaan akal adalah salah satu ciri dari kaum modernis. Hal tersebut terpatri dalam 7 falsafah ajaran K.H. Ahmad Dahlan yang ditulis oleh Hajid, muridnya yaitu:
”Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk untuk memikirkan, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal iktikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati”
Penggunaan
Rasional dan Implikasinya
Penggunaan akal dan rasional berdasarkan pada pengetahuan modern memberikan batasan tegas Muhammadiyah dengan alam pikir masyarakat yang pada masa itu masih terbelenggu pada paradigma mistik. Hal tersebut membawa implikasi besar pada gerak Muhammadiyah. Alih-alih menciptakan banyak dukun, Muhammadiyah lebih memilih untuk membuat rumah sakit sebagai tempat berobat. Muhammadiyah juga menerima pembelajaran barat sebagai suatu implikasi rasional dari sikapnya. Muhammadiyah juga menggunaan ilmu astronomi untuk menentukan kiblat, menggunakan ilmu falak untuk menentukan awal Ramadhan serta tata laku kaum modern dalam berpakaian. Publikasi melalui majalah dengan menggunakan bahasa Belanda, Jawa ataupun arab digalakkan. Bahkan dalam sikap beragama, Muhammadiyah tidak demikian saja percaya atau taqlid terhadap seorang tokoh agama sebelum diselidiki apakah dalil yang digunakan.
Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke XX, menyatakan bahwa terdapat perbedaan reformisme Islam dan modernisme Islam. Reformisme Islam adalah produk historis ulama sejak abad ke-17 M dalam rangka pemurnian agama Islam dari apa saja yang mengotorinya (takhayul, bid’ah, khurafat) sedangkan modernisme Islam merupakan proyek dari generasi muda Islam yang terpengaruh dengan peradaban barat untuk menyesuaikan diri dengan tetap setia kepada nilai–nilai ajaran Islam. Muhammadiyah sendiri terkadang disebut sebagai reformisme Islam maupun gerakan modernisme Islam yang menandakan bahwa pengaruh timur tengah maupun pengaruh barat sebenarnya menancap kuat dalam tubuh Muhammadiyah.
Penutup
Kemodernan gerakan yang ditampilkan oleh Muhammadiyah menjadi salah satu faktor perkembangan Muhammadiyah di tingkat perkotaan. Pada beberapa daerah seperti di Bengkulu, kemoderenan tersebut justru dapat diterima oleh daerah pedesaan yang bergerak menuju ’moderen” dan zaman baru sehingga Muhammadiyah juga dapat diterima dengan baik di pedesaan.
Kiai Dahlan adalah sosok pragmatis dalam arti kata ia akan menggunakan apapun yang tak dilarang oleh agama untuk mencapai tujuannya. Sikap ini juga ia gunakan dalam dunia pendidikan dengan mengawinkan pembelajaran barat dan Islam yang tampaknya ditiru dari model sekolah modern timur tengah alih-alih sebagai usaha dan pemikiran Kiai Dahlan sendiri. Demikian juga dalam bidang kesehatan, filantropi dan kesejahteraan sosial diimitasi dari peradaban barat. Pemikiran dan gerak Kiai Dahlan sebenarnya tidak ada yang ”genuine” hasil pemikirannya sendiri. Sikap mengimitasi yang baik dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan ajaran agama menjadikan Muhammadiyah berkembang dengan pesat dan diterima dengan baik.
0 Comments