![]() |
| Jenderal Suharto saat telah dilantik sebagai Pj. Presiden RI tahun 1966. (Dok. Museum Kepresidenan Balai Kirti) |
Presiden RI kedua H.M Suharto kembali diusulkan mendapatkan gelar pahlawan nasional, muncul pro dan kontra namun keputusan akhir nanti tetap di tangan mantan menantunya (Presiden Prabowo Subianto).
Wacana
Suharto untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional kembali mengemuka pada awal
tahun 2025. Saifullah Yusuf selaku menteri sosial mengutarakan melalui Antara (antaranews.com),
bahwa hingga bulan April telah ada 10 nama usulan calon pahlawan nasional (CPN)
yang masuk ke meja Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial selaku bidang yang
mengurusi pengajuan CPN. Dua diantaranya adalah mantan Presiden RI yakni H.M
Suharto dan Abdurrahman Wahid. Namun Saifullah Yusuf menegaskan bahwa usulan
Pak Harto menjadi pahlawan nasional datang dari masyarakat, bukan dari
pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial (Kemensos). Usulan itu melalui
seminar-seminar di tingkat kota/kabupaten yang kemudian diterima oleh kepala
daerah setempat hingga tingkatan gubernur.
Akibat
usulan tersebut, muncul suara penolakan dari berbagai pihak. Semisal dari
aktivis Reformasi 1998, penggiat HAM, hingga politikus. Namun muncul pula
suara-suara dukungan penganugerahan pahlawan nasional bagi Pak Harto,
diantaranya dari Partai Golongan Karya (Golkar) dan tentu saja keluarga
besarnya. Siti Hediati Hariyadi yang kerap disapa Mbak Titik selaku putri
Suharto mengaku, meski mendukung pencalonan tersebut namun tidak berharap
banyak. Karena wacana pengusulan tersebut selalu bergulir disetiap pemerintahan
dan tidak pernah terealisasi. Menurutnya, dianugerahi atau tidak ayahnya telah
menjadi pahlawan baginya dan banyak rakyat Indonesia yang merindukan
kepemimpinannya. Demikian dilansir Kompas pada 24 April 2025 (kompas.com).
Suharto
Diantara Prestasi dan Kontroversi

Presiden Suharto dan keluarganya (Dok. Wikimedia)
Terlahir dari keluarga petani di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu yang kini masuk dalam Kabupaten Bantul pada 8 Juni 1921. Suharto dikenal sebagai pemuda yang biasa saja dan pendiam dengan pendidikan terakhirnya dilanjutkan pada MULO Muhammadiyah pada tahun 1935. Setelah lulus Suharto muda sulit mendapatkan pekerjaan tetap, hingga akhirnya mencoba mendaftar dalam tentara KNIL pada pertengahan 1940. Pendidikan militernya itu ditempuh hingga berhasil mendapatkan pangkat sersan. Sayangnya, karirnya sebagai sersan itu tidak berlangsung lama. Pada 8 Maret 1942 Hindia Belanda menyatakan menyerah kepada tentara Jepang. Meski beruntung tidak diinternir tentara Jepang (karena bukan perwira), kondisi ini memaksanya kembali ke kampung halamannya dan kembali menjadi pengangguran.
A. Yogatama dalam bukunya Biografi Daripada Soeharto menyebutkan ‘masa nganggur’ nya Pak Harto kali ini tidak berlangsung lama. Suharto mendaftarkan diri pada Keibuho atau polisi pada era pendudukan Jepang. Karena diangap berprestasi atas saran atasannya pada Oktober 1943, Suharto mendaftar dalam prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Dengan sejumlah pelatihan berhasil meraih pangkat Chudancho atau komandan kompi yang kini setara dengan pangkat kapten pada 1944. Karirnya lancar di ketentaraan PETA hingga dipercaya melatih calon-calon tentara PETA yang baru direkrut hingga akhirnya hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, dua hari berikutnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta.
Era revolusi kemerdekaan menjadi fase Suharto menunjukkan nasionalisme dan patriotismenya. Tergabung dalam tentara republik dalam berbagai palagan, mulai dari penyerbuan markas Jepang di Kotabaru sekitar Oktober 1945 hingga Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Sejak itu Suharto lebih dikenal sebagai sosok penting dalam militer Indonesia. Pernah menjadi Panglima Divisi Diponegoro tahun 1950an, Komandan Operasi Mandala pembebasan Irian Barat pada 1960, dan kemudian sekitar huru-hara sekitar 30 September 1965 telah menjadi komandan Kostrad. Berkat peristiwa itu pula lah Pak Harto menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) karena gugurnya Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah deputinya. Sejak itu Suharto mulai berpengaruh pada bidang politik dan pemerintahan, tidak hanya di dunia militer.
Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 semakin menegaskan legitimasinya dalam pemerintahan, karena dapat bertindak apapun demi keamanan dan ketertiban negara atas nama presiden. Setahun kemudian Suharto ditetapkan menjadi Pj. Presiden RI (1967) oleh MPRS setelah Presiden Sukarno diturunkan. Di tengah kekacauan yang terjadi di bidang kamtibmas, krisis ekonomi, kesenjangan sosial, hingga suasana post war, Suharto secara perlahan berhasil menanggulangi masalah ini atas nama stabilisasi dan pembangunan. Sebuah prestasi yang mampu Pak Harto benahi kurang dari 10 tahun pertama Orde Baru.
Suharto kemudian memimpin Indonesia cukup lama sejak 1967-1998, meninggalkan prestasi dan legacy yang mungkin masih menjadi memori kolektif atau pengaruh yang dirasakan hingga kini. Industrialisasi, revolusi hijau, dan investasi asing berhasil memperbaiki ekonomi Indonesia yang porak poranda di akhir era Sukarno, bahkan menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Pembangunan infrastruktur untuk daerah di luar Pulau Jawa mulai diberikan perhatian. Seiring dengan keberhasilan menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Indonesia yang pada 1960an menjelang jatuhnya Sukarno kurang mendapatkan kepercayaan dari luar negeri akibat politik konfrontasi, dibenahi oleh Suharto dengan lebih mementingkan kerjasama dan perdamaian.
Keberhasilan-keberhasilan di atas tidak heran menimbulkan cukup banyak opini umum terkait ‘tentrem’nya hidup di era Pak Harto dengan rasa aman dan sembako yang terjangkau. Hal ini bisa divalidasi kepada kalangan usia dewasa di atas 45 tahun. Namun, catatan prestasi Suharto ini bukanlah tanpa kontroversi dibalik selentingan-selentingan gaya memimpinnya yang dianggap ‘bertangan besi’. Dianggap otoriter dan anti kritik, sejumlah pers dan media dibungkam. Jangan tanyakan tentang bagaimana kemajuan demokrasi di era ini, sejak 1971 pemilu hanya diikuti oleh 3 partai politik hasil kebijakan penyederhanaan partai dan tentu saja selalu dimenangkan Golkar. Di bawah pemerintahan a la junta militer dengan dwi fungsi ABRI, kepala daerah mulai dari dari bupati/walikota dan gubernur kerap diisi oleh kalangan militer. Termasuk pada parlemen baik daerah dan pusat yang juga terdapat fraksi ABRI.
Isu pelanggaran HAM menjadi topik yang paling panas mengenai penolakan sejumlah pihak terhadap pencalonan pahlawan nasional bagi Pak Harto. Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto, bagian dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam surat terbuka yang disampaikan pada 24 Maret 2025, memaparkan alasan-alasan menolak pencalonan Pak Harto menjadi pahlawan nasional (kontras.org). Beberapa rekam jejak buruk yang terjadi di eranya selama 32 tahun menjadi penyebab, antara lain: pelanggaran berat terhadap HAM, pelanggaran HAM, dan maraknya KKN. Persoalan KKN memang menjadi yang paling disorot karena masifnya penyelewengan yang terjadi pada saat itu, terlebih sidang terhadap dugaan korupsi pernah dilaksanaan terhadap dirinya pasca lengser. Kasus itu sendiri akhirnya ditutup pada tahun 2006 sebelum vonis dijatuhkan, karena alasan kesehatan Suharto yang memburuk.
Proses Panjang

Suharto membacakan surat pengunduran dirinya sebagai Presiden RI
pada 21 Mei 1998. (Dok. Republika)
Wacana pencalonan Pak Harto sebagai pahlawan nasional sebenarnya telah berkembang lebih dari 10 tahun belakangan. Setahun setelah Pak Harto wafat (27 Januari 2008), telah muncul gagasan-gagasan agar menjadikan Pak Harto sebagai pahlawan nasional di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun sekitar 2009/2010 barangkali belum diadakan suatu seminar atau kajian akademis sebagai dokumen pengusulan calon pahlawan nasional. Ide ini terus berkembang dari tahun ke tahun, termasuk saat memasuki era Presiden Joko Widodo. Meskipun begitu PDIP yang merupakan partai pemerintah ketika itu dan pernah menjadi oposisi di era orde baru tampak menolak gagasan ini. Di sisi lain seminar-seminar maupun kajian yang digunakan sebagai pelengkap pengusulan gelar pahlawan nasional Suharto tetap terlaksana di berbagai tempat, baik tingkat daerah maupun nasional. Tidak terhitung pula berapa banyak biografi maupun penelitian-penelitian tentang sosok Suharto, khususnya terkait prestasi dan sumbangsih beliau yang telah dihasilkan.
Penulis sendiri pernah terlibat dalam proses pencalonan pahlawan nasional dr. Rubini tahun 2022 yang diajukan oleh Pemprov Kalimantan Barat, dan berperan sebagai penulis biografi. Mengalami dan merasakan langsung tahapan-tahapan panjang hingga dr. Rubini berhasil dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 3 November 2025. Sehingga melalui tulisan ini penulis menyampaikan pengalaman betapa panjang dan berlikunya proses pencalonan Pahlawan Nasional. Sebelum diusulkan, CPN harus memenuhi sejumlah persyaratan penting yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Pahlawan Nasional. Dimana menurut penulis persyaratan yang paling fundamental ialah: memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa bagi bangsa-negara, berkelakuan baik, setia, dan tidak pernah berkhianat termasuk tidak pernah dijatuhi hukuman pengadilan.
Usulan terhadap calon pahlawan nasional diajukan oleh masyarakat kepada bupati/walikota, yang umumnya dilengkapi dengan dokumentasi-dokumentasi seminar baik tingkat daerah maupun nasional, arsip-arsip, surat dukungan, dan termasuk naskah kajian akademis. Pejabat daerah itu kemudian akan mengajukan pula kepada gubernur. Pengajuan ini apabila memenuhi syarat-syarat materil, formil, dan administrasi akan diteruskan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) untuk diadakan penelitian lebih dalam hingga dilangsungkan sidang pertimbangan yang memutuskan nasib usulan tersebut. Apabila usulan diterima, maka gubernur akan mengajukan usulan kepada Kementerian Sosial (Kemensos) RI.
Sampai
di meja Kemensos usulan itu akan dilakukan verifikasi administrasi. Bagi usulan
yang dinyatakan lolos akan dilimpahkan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar
Pusat (TP2GP) untuk dilaksanakan penelitian, pengkajian, maupun pembahasan
terkait usulan yang masuk. Termasuk mengadakan verifikasi lapangan ke daerah
pengajuan untuk memeriksa kembali keselarasan fakta-fakta dan bukti sejarah
yang diajukan. Dari pertimbangan TP2GP inilah usulan-usulan CPN yang memenuhi
kriteria akan diajukan oleh Menteri Sosial RI ke Presiden RI melalui Dewan
Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (Dewan GTK).
Dewan GTK berisi sejumlah nama pakar dan tokoh nasional yang dianggap berpengalaman dan berpengetahuan luas, termasuk Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) dan sejarawan nasional. Dewan GTK inilah yang akan memberikan penjelasan-penjelasan dan pertimbangan langsung kepada presiden terhadap usulan-usulan yang diterima dari Kemensos. Meskipun begitu Presiden RI lah yang tetap akan tetap memutuskan mana CPN-CPN yang akan diberikan gelar pahlawan nasional. Sebab keputusan pemberian gelar sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden RI berdasarkan Pasal 15 UUD NRI 1945.
Tidak
menutup kemungkinan pertimbangan-pertimbangan Dewan GTK tidak diikuti atau
berbeda dari yang diinginkan dan diputuskan oleh Presiden RI. Pengajuan usulan
CPN-CPN ini juga tidak jarang memakan waktu yang lama, meski pengusulan telah disampaikan
dari Kemensos ke Dewan GTK penetapannya pun memakan tempo bertahun-tahun.
Sebagai contoh pada tahun 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto yang belum lama
dilantik tidak menetapkan satupun tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional.
Sekarang kembali pada proses pengajuan CPN terhadap Pak Harto. Jika usulan CPN mantan
mertuanya itu sampai di meja Dewan GTK akankah disetujui oleh mantan menantunya
ini? Tentunya apapun keputusan Presiden Prabowo Subianto yang akan datang
hendaknya menjadi perhatian bersama dan mampu disikapi dengan kritis oleh
khalayak. Publik juga dapat menilai apakah ‘The Smiling General’ itu
pantas dianugerahi Pahlawan Nasional atau tidak.
Baca Juga: Jurus Terakhir The Smiling General

0 Comments