![]() |
Sutan Syahrir dan Tan Malaka. (Sumber: Istimewa) |
Oleh:
Wahyu Agil Permana | Mahasiswa Sejarah, Universitas Lampung
Meski sama-sama dari Minangkabau, Sutan Syahrir dan Tan Malaka kerap silang pendapat terkait revolusi kemerdekaan Indonesia di sekitar 1945. Pada akhirnya Tan Malaka memilih tetap menjadi oposisi dan Syahrir masuk dalam pemerintahan sebagai Perdana Menteri RI.
Pada permulaan
Juli 1945, sepasang sahabat terpaut dalam sebuah perbincangan santai namun
serius. Mereka adalah Sutan Syahrir dan Sastra, dua tokoh pergerakan yang
sedang mempertimbangkan siapa yang paling layak tampil ke muka sebagai
proklamator Indonesia.
Dalam obrolan itu,
terlintas nama Tan Malaka. Syahrir, yang sempat kagum terhadap ketegasan dan
optimisme Tan Malaka dalam memperjuangkan nasib rakyat, merasa bahwa sosoknya
pantas untuk memimpin momen bersejarah itu. Maka, Syahrir dan Sastra pun
sepakat untuk mencari Tan Malaka.
Kabar tentang
keberadaan Tan Malaka di Banten sudah cukup santer saat itu. Berkat bantuan
Marta, kepala stasiun Menes, Syahrir dan Sastra akhirnya berhasil menemui Tan
Malaka.
“Dalam pertemuan
itu, Syahrir meminta kesediaan Tan Malaka menjadi proklamator kemerdekaan.
Alasannya jelas, Syahrir merasa keberatan jika kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan oleh tokoh-tokoh yang memiliki riwayat pro-Jepang, seperti
Sukarno dan Hatta. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Tan
Malaka,” ujar Sastra dalam Mengenang Sjahrir.
Pertemuan pertama
itu berakhir hampa. Tak ada kesepakatan.
Beberapa bulan
berselang, pada 2 Oktober 1945—dua minggu sebelum Syahrir terpilih menjadi
ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)—ia bersama para
pemuda Menteng seperti Sukarni, Adam Malik, dan Maruto Nitimiharjo kembali
menemui Tan Malaka di Bogor.
Menurut Harry A.
Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I,
pertemuan itu menghasilkan pembicaraan lebar antara Tan Malaka dengan Sutan
Syahrir. Mereka sepakat untuk bersama-sama memperjuangkan apa yang sudah
diproklamasikan dan memberikan segenap tenaga untuk mempertahankan Republik
Indonesia.
Dalam suasana
perbincangan yang hangat namun penuh pertimbangan itu, Tan Malaka mengajukan
tawaran dirinya menjadi presiden, dan Syahrir sebagai perdana menteri. Namun
Syahrir mengelak halus, sambil bercerita tentang pengalamannya berkeliling
pulau Jawa. Di berbagai tempat, ia menyaksikan langsung betapa tingginya
popularitas Sukarno di kalangan rakyat.
Syahrir menganggap
bahwa upaya menggantikan Sukarno itu merupakan masalah yang tidak mungkin
dilaksanakan dan juga akan lebih merugikan, mengingat dukungan rakyat Jawa
kepada Sukarno.
“Andaikata Anda
lebih populer sepuluh persen saja dari Sukarno, mungkin saya akan
mempertimbangkan usul Anda sebagai presiden,” kata Syahrir, dikutip Rudolf
Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Ia menambahkan,
“lagi pula, kita ini orang Sumatera yang tidak begitu dikenal. Karena itu,
lebih baik kita menyokong Sukarno dan Hatta saja.”
Tan Malaka
menentangnya. “Sebagai kolaborator Jepang,” kata Tan, “Sukarno akan diadili oleh Sekutu. Dan kemerdekaan
Indonesia akan dibatalkan, sebab dianggap bikinan fasis Jepang.”
Pertemuan pun
kembali berakhir tanpa kesepakatan.
Pertemuan
Lanjutan
Syahrir dan Tan
bertemu lagi pada 23 Oktober 1945. Kali ini di Serang, di kediaman Tjeq
Mamad—tempat Tan Malaka disibukkan dengan urusan revolusi di wilayah Banten.
Syahrir tiba bersama pengikutnya yang berjumlah sekitar lima belas orang.
Ini merupakan
pertemuan penting. Kedua tokoh pergerakan itu terlibat perbincangan panjang
perihal situasi politik yang terjadi akibat pendaratan Sekutu-NICA di
Indonesia. Tan Malaka, sebagaimana dicatat Harry A. Poeze dalam Tan Malaka,
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I, mengatakan bahwa bangsa
Indonesia harus segera bersiap mempertahankan kemerdekaannya. Ia mengemukakan
pandangannya bahwa perlawanan terhadap Belanda harus dilakukan.
“Kita tidak
mempunyai senjata. Tetapi kita punya banyak pemuda yang semuanya siap untuk
bertempur. Yang menjadi soal hanyalah masalah organisasi. Satu senapan mesin
dengan beberapa peluru sudah cukup,” tutur Tan Malaka.
Tetapi, Syahrir
menyampaikan maksud lain. Ia meminta Tan Malaka menjadi ketua Partai Sosialis
yang akan didirikannya dalam waktu dekat. Syahrir mengakui bahwa Tan Malaka
memiliki prestise dan daya tarik yang legendaris, sesuatu yang sangat
dibutuhkan partai baru untuk memperoleh pijakan politik yang kuat.
Namun seperti
biasa, Tan menolak. Ia menilai saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk
membentuk partai baru.
“Dalam masa perang
tidaklah baik kalau mendirikan berbagai partai. Apabila satu partai diizinkan
berdiri, maka berbagai partai akan timbul seperti jamur di musim hujan.
Sementara suasana politik belum lagi terang, maka baiklah diperkuat saja
pemerintahan yang ada dengan para pemimpin revolusioner yang berada di luar
pemerintahan,” ulas Tan Malaka dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara.
Selain itu, Tan
Malaka menegaskan perbedaan prinsipil yang tak bisa dijembatani. Ia menolak
menjadi kawan separtai dari kaum sosialis, yang sebagian besar masih mau
berkompromi dengan kapitalisme dan imperialisme. “Saya tidak bisa, saya seorang
komunis,” imbuh Tan.
Bersimpang
Jalan
Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri RI pertama 1945-1947
(Sumber: rri.co.id)
Sejak itu,
keduanya bersimpang jalan. Syahrir dan Tan menduduki posisi yang berbeda.
Syahrir menjabat sebagai perdana menteri, sedangkan Tan Malaka yang berada di
luar struktur resmi memilih untuk beroposisi. Keduanya saling beradu pandang
mengenai cara mempertahankan kemerdekaan.
Syahrir yang
berhaluan sosialis memilih pendekatan diplomatis sebagai cara yang realistis
untuk memperkuat posisi Indonesia. Menurut Syahrir, seperti dikisahkan Ahmad
Subarjo dalam memoarnya Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, sudah
saatnya pihak Indonesia menggunakan jalan diplomasi dalam menghadapi Belanda,
terutama di tengah kekuatan militer Belanda yang lebih unggul.
“Kekuatan
persenjataan Indonesia belum bisa menandingi kekuatan militer Belanda. Jika
kita melawan Belanda dengan kekerasan, maka sudah tentu rakyat akan menjadi
korban keganasan Belanda,” ujar Syahrir.
Sementara itu, Tan
Malaka memiliki pandangan berbeda. Baginya, diplomasi yang dilakukan tanpa
pijakan kedaulatan sejati hanyalah bentuk penyerahan secara halus. Tan menilai
bahwa negosiasi yang dilakukan dalam posisi lemah justru membuka peluang
kembalinya dominasi Belanda.
Tan berpendapat
bahwa perlu diadakannya gerakan perlawanan revolusioner yang terkoordinasi.
“Suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung
oleh massa rakyat yang terorganisasi, yaitu dengan membentuk front persatuan,”
tulisnya dalam Aksi Massa.
Maka, untuk
merealisasikan gagasannya, Tan Malaka bersama sejumlah tokoh pergerakan lainnya
menyelenggarakan sebuah kongres rakyat di Purwokerto pada 4-5 Januari 1946.
Dalam kongres tersebut, ia mengusulkan pembentukan Volksfront (front
rakyat). Di kemudian hari, front rakyat itu dikenal dengan nama Persatuan
Perjuangan.
0 Comments