![]() |
Lukisan menggambarkan eksekusi terhadap para Martir Kristen Jepang di Nagasaki (Sumber: Luke Hasegawa). |
Oleh: Judirho | Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura
Jauh sebelum Jepang menjadi negara modern seperti sekarang, ada sebuah babak sejarah yang nyaris terlupakan mengenai kisah tentang ajaran Kristen pernah dianggap sebagai ancaman besar bagi kekuasaan dan budaya lokal, hingga akhirnya dipersekusi secara brutal.
Penganiayaan terhadap orang Kristen seringkali terjadi bahkan sejak ratusan tahun silam, yang juga memuat sepenggal ayat Alkitab mengenai persekusi pengikut Kristus dengan berbunyi "Apabila kamu dianiaya di satu kota, lari ke kota lain. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: kamu tidak akan selesai mengelilingi kota-kota Israel, sebelum Anak Manusia datang" (Matius 10:23).
Ajaran Kristen pertama kali masuk ke Jepang pada pertengahan abad ke-16 melalui para misionaris Ordo Jesuit yang disponsori oleh Portugis. Awalnya, kehadiran mereka disambut cukup terbuka oleh masyarakat Jepang pada masa itu. Fransiskus Xaverius beserta rekannya menjadi rombongan Kristen pertama yang tiba di Kagoshima dan melakukan banyak pembaptisan terhadap orang Jepang yang tersentuh hatinya untuk mengikut Kristus. Terhitung ada sekitar 300.000 orang Jepang telah memeluk agama Kristen dan tak luput beberapa penguasa daerah atau disebut Daimyo juga memeluk agama baru ini. Demikian Michael Cooper (2005) dalam The Japanese Mission to Europe, 1582–1590; The Journey of Four Samurai Boys Through Portugal, Spain and Italy.
Hal ini tentu mengkhawatirkan bagi pihak Keshogunan, lantaran melihat semakin besar pengaruh yang ditimbulkan dan semakin berbahaya, sehingga mereka mulai berspekulasi mengenai kedudukan agama Kristen bisa menggeser kepercayaan asli mereka yakni ajaran Shinto, kemudian dicampur alasan politis.
Pada tahun 1587, Hideyoshi Toyotomi, seorang penguasa militer yang mampu mempersatukan Jepang masa itu, mengeluarkan larangan terhadap kehadiran para misionaris Jesuit dari Portugis bahkan Spanyol. Ia mencurigai bahwa penyebaran ajaran Kristen bukan hanya soal agama, tetapi juga potensi ancaman terhadap stabilitas politik dan kedaulatan kekaisaran. Memunculkan hawa ketakutan bahwa gerakan ini bisa menjadi pintu masuk bagi intervensi asing, atau bahkan kudeta terhadap dirinya. Larangan itu menjadi awal dari penganiayaan Kristen yang lebih besar.
Puncaknya terjadi pada tahun 1614, setelah kepemimpinan militer Hideyoshi digantikan oleh Tokugawa Ieyasu, ia secara resmi melarang agama Kristen di seluruh Jepang, kemudian menitahkan gereja-gereja dihancurkan, kitab-kitab suci dibakar, dan para misionaris asing diburu sampai kepala putus dihunus pedang katana. Michael Wicaksono (2024) dalam Memahami Jepang, ada sekitar 20 misionaris di antaranya berhasil melarikan diri, sementara banyak lainnya dibunuh atau ditangkap.
Tak hanya para misionaris, warga Jepang yang memeluk agama Kristen pun menjadi sasaran, ketegangan ini memicu perlawanan salah satunya dalam bentuk Pemberontakan Shimabara di Nagasaki (1637–1638), yang melibatkan ribuan petani dan samurai Kristen. Namun, pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan dan justru semakin memperburuk pembantaian terhadap orang Kristen secara besar-besaran. Cooper sendiri menyebutkan (2005), ribuan orang Kristen dibunuh, dan sisanya dideportasi ke Manila, Filipina merupakan koloni Spanyol terdekat saat itu.
![]() |
Gereja Katolik Oura di Nagasaki, gereja pertama yang berdiri di Jepang sejak 1865 (Sumber: japandeluxetours.com) |
Akibatnya, berita tentang penindasan ini menyebar ke Eropa, dimana rara raja Katolik, termasuk Raja Spanyol, menyatakan keprihatinan mendalam dan sempat mengancam akan menyerang Keshogunan Tokugawa. Namun Jepang sudah lebih dulu menutup pintunya dengan kebijakan Sakoku, demikian Tashiro Kazui (1982) "Foreign Relations During the Edo Period: Sakoku Reexamined". Journal of Japanese Studies.
Melalui kebijakan Sakoku, yang mulai diberlakukan pada 1639 oleh Tokugawa Iemitsu, Jepang secara resmi menutup diri dari dunia luar maupun pengaruh dari ajaran Kristen terkhususnya. Sehingga tidak ada orang asing yang boleh masuk, dan tidak ada warga Jepang yang boleh keluar. Hubungan diplomatik dan perdagangan dengan bangsa lain diputuskan sepihak, kemudian bagi warga Jepang yang melanggar atas kebijakan ini bisa berujung pada hukuman mati.
Kebijakan isolasi ini bertahan begitu lama selama lebih dari dua abad. Baru pada 1853, ketika Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat datang dengan armada kapal perang modern, mulai menyadarkan Jepang untuk membuka diri terhadap dunia luar dan sadar mereka sudah ketinggalan zaman setelah pemberlakuan kebijakan Sakoku. Dengan begitu, Era Restorasi Meiji pun dimulai dan perlahan-lahan larangan terhadap agama Kristen dicabut.
Sebagai simbol kebebasan
beragama yang akhirnya diraih, umat Kristen di Jepang membangun Katedral
Urakami di Nagasaki pada 1877. Sehingga katedral ini baru selesai dibangun pada
tahun 1895, tepat di atas tanah yang dulu menjadi pusat aktivitas Kristen dan
juga lokasi banyak penindasan.
0 Comments