![]() |
Tan Malaka (kiri) dan Sukarni (tengah), sekitar era kemerdekaan. (Sumber: koransulindo.com) |
Tan Malaka bukan sekadar nama dalam sejarah, kisah panjang tentang seorang revolusioner yang mencintai bangsanya sepenuh hati, namun justru disingkirkan, dibuang, bahkan dibunuh oleh bangsanya sendiri. Tidak hanya pelintas batas antarnegara, melainkan juga pelintas batas ide dan zamannya. Sosoknya kompleks, kerap membingungkan, bahkan menyebalkan bagi sebagian elite politik tetapi tak terbantahkan bahwa dialah salah satu penggerak utama ide kemerdekaan Indonesia.
Nama aslinya Sutan Ibrahim. Ia lahir
di Nagari Pandan Gadang, Sumatera Barat, 2 Juni 1897. Anak bangsawan
Minangkabau ini sejak muda telah menunjukkan bakat intelektual luar biasa. Ia
belajar di Kweekschool Bukittinggi lalu melanjutkan ke Rijkskweekschool di
Haarlem, Belanda. Di sinilah pandangan politiknya mulai terbentuk. Ia membaca
Marx, Lenin, dan berbagai pemikir kiri Eropa dan pada akhirnya merumuskan
pemikirannya sendiri yang kelak dinamakan “Madilog” Materialisme, Dialektika,
dan Logika (Madilog, 1943).
Tan Malaka tidak ingin Indonesia
hanya merdeka secara politik, tetapi juga secara ekonomi dan sosial. Ia menolak
sistem kolonial, tetapi juga curiga pada bentuk kompromi dengan kapitalisme.
Karena itu ia sulit didekati oleh semua pihak. Bagi kolonial, ia adalah
radikal. Bagi kaum nasionalis moderat, ia terlalu kiri. Bagi komunis ortodoks,
ia tidak tunduk pada dogma Moskow. Bagi militer, ia terlalu berbahaya karena
bergerak di luar struktur formal. Dalam sejarah Indonesia, tak ada tokoh lain
yang begitu keras kepala dalam memperjuangkan kemerdekaan dan justru itu pula
yang membuatnya tersingkir.
Setelah aktif di Sarekat Islam dan
mendirikan sekolah rakyat di Jawa, Tan Malaka dikejar pemerintah kolonial
Hindia Belanda dan akhirnya dibuang. Di sinilah kisah pembuangannya dimulai;
sebuah odyssey revolusioner yang membawanya ke empat negeri: Filipina,
Thailand, Tiongkok, dan Uni Soviet. Di setiap negeri itu ia hidup sebagai
pelarian, dengan nama samaran yang berganti-ganti, identitas palsu, dan kadang
hidup dalam kemiskinan atau ancaman penangkapan. Namun ia tak berhenti menulis
dan berpikir tentang Indonesia. Dalam pembuangan, ia menulis Naar de
Republiek Indonesia (1925), buku yang jauh lebih radikal ketimbang ide
kemerdekaan yang digaungkan elite Indonesia pada masa itu.
Di Uni Soviet, ia sempat dekat
dengan lingkaran Komintern dan sempat menjadi perwakilan Komunis Asia Tenggara.
Namun karena sikapnya yang mandiri dan menolak campur tangan Soviet dalam
urusan Indonesia, ia dikeluarkan dari jaringan resmi komunis internasional. Tan
Malaka menolak tunduk. Ia menganggap perjuangan kemerdekaan Indonesia harus
dipimpin oleh orang Indonesia sendiri, bukan oleh Moskow, bukan pula oleh kaum
elite kolaborator di Hindia.
Setelah 20 tahun bergerilya di luar
negeri, Tan Malaka kembali ke tanah air menjelang proklamasi. Namun, ia tidak
langsung muncul di panggung politik utama. Ia bergerak di balik layar,
membangun Partai Murba dan mencoba menyatukan berbagai kelompok revolusioner.
Ia kecewa dengan perjanjian-perjanjian politik yang terlalu lunak terhadap
Belanda, termasuk Linggadjati dan Renville. Bagi Tan Malaka, perjuangan adalah
jalan satu-satunya. Ia menulis Gerpolek (Gerilya, Politik, dan Ekonomi),
1948, semacam manual revolusi untuk rakyat Indonesia menghadapi agresi militer
Belanda dan ancaman dari dalam.
Sekali lagi, jalan pikirannya
terlalu radikal untuk diterima pemerintah Republik Indonesia kala itu.
Sukarno-Hatta memilih jalan diplomasi dan moderasi demi menjaga pengakuan
internasional dan dukungan dari negara-negara besar. Tan Malaka malah dianggap
pembangkang. Ia ditangkap, dilepas, lalu bergerilya lagi. Ia berada di jalur
terluar dari sejarah resmi republik. Bahkan dalam masa genting, ia dianggap
ancaman.
Tragisnya, akhir hidup Tan Malaka
justru terjadi di tanah yang ia perjuangkan mati-matian. Ia dibunuh oleh
tentara republik sendiri di Kediri, Jawa Timur, pada Februari 1949. Tak ada
pengadilan, tak ada pengakuan. Mayatnya dikubur sembarangan, tak dikenal demikian
tulis Harry A. Poeze, dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (2007). Butuh puluhan tahun hingga
akhirnya pada 2007, pemerintah Indonesia secara resmi mengakui bahwa makam yang
ditemukan di Desa Selopanggung, Kediri, adalah makam Tan Malaka (Majalah Tempo,
16 Juli 2007). Ia dibunuh oleh bangsanya sendiri. Bukan karena ia salah, tetapi
karena ia terlalu benar untuk diterima oleh sistem yang belum siap.
Ironi ini menjadi simbol dari
tragedi sejarah kita. Tan Malaka, yang dibuang ke empat negeri karena
perjuangannya, justru mati di negeri sendiri karena perjuangannya yang sama.
Seolah-olah republik ini belum cukup dewasa untuk menerima pemikir yang
melampaui zamannya. Dalam sejarah kita, terlalu banyak tokoh yang hanya
dikenang ketika mereka sudah mati karena ketika hidup, mereka terlalu
menyakitkan bagi kekuasaan.
Kini, nama Tan Malaka terpampang di
banyak ruang publik: jalan raya, sekolah, universitas. Tetapi berapa banyak
dari kita yang benar-benar memahami apa yang ia perjuangkan? Ia bukan hanya
nama dalam buku sejarah. Ia adalah peringatan: bahwa revolusi sejati tidak
selalu mendapat tempat di panggung resmi. Bahwa patriotisme tidak selalu dibayar
dengan penghargaan, tapi bisa juga dengan peluru.
![]() |
Tan Malaka membaca karyanya Gerpolek (Sumber: dewantaranews.com) |
Penting untuk memahami Tan Malaka
tidak sebagai pahlawan tanpa cela, tetapi sebagai manusia penuh kontradiksi. Ia
kadang terlalu keras, terlalu idealis, bahkan dianggap oportunis oleh sebagian
kawan seperjuangannya. Ia pernah bentrok dengan Semaun, Musso, bahkan melawan
keputusan PKI sendiri. Ia dituduh ambisius, egosentris, tidak sabaran. Namun
semua itu muncul dari tekadnya untuk melihat Indonesia merdeka sepenuhnya,
bukan sekadar lepas dari Belanda tapi juga bebas dari feodalisme, kapitalisme,
dan kediktatoran.
Dalam Madilog, Tan Malaka (1943) mencoba membangun fondasi berpikir rasional dan ilmiah untuk rakyat Indonesia. Ia ingin bangsa ini tidak hanya percaya pada mitos, takhayul, dan kekuasaan buta, tetapi juga bisa berpikir logis dan kritis. Ia ingin anak-anak Indonesia menjadi manusia yang bebas, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara mental. Madilog adalah proyek pencerahan yang belum selesai, bahkan hingga hari ini.
Apa yang bisa kita pelajari dari Tan
Malaka hari ini? Dalam
pandangan Benedict Anderson sebagaimana penelitiannya berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia
(1990) sosok Tan Malaka menunjukkan bagaimana
bahasa dan kekuasaan membentuk narasi politik dalam sejarah Indonesia. Bahwa perjuangan tidak selalu diakhiri dengan tepuk tangan.
Bahwa kebenaran kadang harus dikorbankan demi stabilitas politik. Bahwa tokoh
yang tidak kompromis sering kali disingkirkan, bukan karena ia salah, tetapi
karena ia mengancam status quo. Dan bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang,
sementara mereka yang kalah hanya diberi plakat, tanpa diberi ruang berpikir.
Di tengah euforia nasionalisme hari
ini, penting untuk kembali pada kisah Tan Malaka. Ia mengajarkan kita bahwa
mencintai negeri ini kadang berarti harus melawan negeri ini. Bahwa membela
rakyat bisa berarti menentang kekuasaan. Bahwa revolusi sejati bukan soal
mengganti pemimpin, tetapi mengganti cara berpikir.
Tan Malaka bukan pahlawan dalam arti
konvensional. Ia tidak berpidato di depan rakyat. Ia tidak berfoto dengan
jenderal. Ia tidak menandatangani proklamasi. Tetapi tanpa orang seperti dia,
mungkin republik ini takkan pernah punya fondasi pemikiran yang kuat. Tan
Malaka memberi kita bukan hanya keberanian, tetapi juga gagasan.
Maka, mengenang Tan Malaka bukan
soal nostalgia. Ia adalah tantangan. Apakah kita berani berpikir setajam dia?
Apakah kita mau hidup sesulit dia? Apakah kita siap membela kebenaran meski
tanpa jaminan akan dikenang?
Tan Malaka dibuang ke empat negeri, tapi yang paling menyakitkan adalah ia dibunuh di negeri sendiri. Ia menjadi martir bagi republik yang belum siap menerima revolusi seutuhnya. Namun justru dari tragedinya, kita bisa belajar bahwa kemerdekaan sejati tidak datang dari kompromi, melainkan dari keberanian untuk berkata benar, meski dunia memaksa kita diam.
0 Comments