ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Pabrik Gula (PG) Djatiroto Lumajang Dalam Lintasan Sejarah

Lokasi tempat berkumpulnya kereta api dan lokomotif PG Djatiroto (Sumber: Knight, 2013)


 

Oleh: Nadya Muliandari | Dosen Pertanian Universitas Tanjungpura


PG Djatiroto di Lumajang-Jawa Timur, jadi salah satu bukti masifnya industri gula oleh pengusaha Belanda pada masa kolonial. Pabrik ini masih beroperasi setelah dinasionalisasi Pemerintah RI.

 

Batang-batang tebu berjejer rapi bak pagar mengitari Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Kecamatan Jatiroto sejak dulu memang terkenal memiliki hamparan perkebunan tebu yang luas. Hal tersebut jadi pertanda adanya pabrik gula yang beroperasi tak jauh dari perkebunan. Keduanya – kebun tebu dan pabrik gula jadi bukti masifnya industri gula Belanda di kawasan itu. Awal abad ke-20 menjadi asal-usul sejarah perkembangan Pabrik Gula Djatiroto. 

PG Djatiroto merupakan tonggak penting dalam sejarah gula di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur. PG Djatiroto yang terletak di wilayah Lumajang berada di dataran rendah berketinggian 51 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan berada ditengah tiga gunung api yaitu Bromo, Lemongan dan Semeru. Perkebunan tebu Djatiroto awalnya memiliki luas 5.000 hektar. Namun, pada 1923 mengalami perluasan hingga 7.000 hektar. Bangunan pabriknya sendiri memiliki panjang 150 meter dan lebar 57 meter. Sebagai sarana armada angkut tebu juga dibangun 270 kilometer rel kereta api dengan 40 lokomotif untuk menarik 2.000 truk (gerbong) tebu.

Menurut Reineke, pada 1910 sebanyak 10 juta gulden telah digelontorkan untuk seluruh operasi pengembangan PG Djatiroto. Nilai itu setara dengan sepertiga dari total investasi perusahaan Handelsvereeniging ‘Amsterdam’ (HVA) di Hindia Belanda pada masa itu. Klaim PG Djatiroto tentang modernitas ditunjukkan dengan adanya rumah sakit dikawasan tersebut. HVA juga memiliki perhatian khusus untuk menciptakan pusat medis (rumah sakit) di areal Jatiroto dengan tenaga ahli berjumlah 40–50  dokter asal Eropa. Beberapa sumber menyebutkan bahwa sekitar 40% biaya operasional rumah sakit ditanggung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Perusahaan HVA sendiri telah hadir di Hindia Belanda dan terlibat dalam bisnis ekspor impor dan investasi perkebunan, termasuk kepemilikan pabrik gula. Salah satu tokoh Belanda yang berperan dalam terbentuknya Pabrik Gula (PG) ini adalah Pieter Reineke. Demikian Roger G. Knight dalam Commodities and Colonialism, The Story of Big Sugar in Indonesia 1880-1942 (2013).


Pieter Reineke, salah satu penggagas berdirinya
Perusahaan HVA (Sumber: Knight, 2013)

Reineke yang lahir di Kota Surabaya merupakan seorang anak dari ekspatriat yang berkecimpung dalam bisnis. Masa mudanya dihabiskan dengan mengenyam pendidikan di Eropa. Ia menduduki jabatan sebagai kepala perwakilan HVA di Surabaya dan bernegosiasi dengan para pejabat Hindia Belanda untuk memperoleh tanah dan mendapatkan akses air. Belanda mempekerjakan tenaga kerja lokal untuk bekerja di perkebunan tebu dan pabrik gula serta membangun infrastruktur seperti jalur kereta api lori untuk meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi gula. Pada 1913, Reineke mulai membangun komplek pabrik dan perkebunan luas di kawasan itu. 

Belanda melakukan pembersihan lahan dengan melakukan penebangan hutan di Desa Ranupakis, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang untuk mendirikan pabrik gula. Pabrik Gula Djatiroto pada awalnya menggunakan nama Pabrik Gula Ranupakis dan terletak di Desa Ranupakis. Pada 1910 PG Ranupakis melakukan giling pertama kali.

Permintaan gula yang tinggi oleh Eropa pada 1912 mengharuskan pabrik meningkatkan kapasitas giling yang awalnya hanya 1.200 ton tebu/hari (tth) menjadi 2.400 tth. HVA kemudian mendirikan pabrik gula lagi di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto pada 1915 yang merupakan pengembangan Pabrik Gula Ranupakis. Meski demikian, Jatiroto bukan daerah baru perkebunan tebu. Ketersediaan air di wilayah ini bersumber dari aliran Sungai Bondoyudo dan membentang dari Kabupaten Lumajang hingga Jember. Warga Ranupakis banyak yang berpindah ke Kaliboto untuk membuka lahan di daerah itu. Kini, tanah di Desa Kaliboto Lor terdiri dari areal tebu berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) dan non HGU atau tebu rakyat (TR).

PG Jatiroto saat ini (Dok. Syah Fridan Alif, 2025 via kompasiana)


Harnoko, dkk (2018) dalam artikel penelitiannya berjudul Pabrik Gula Djatiroto: Kajian Industri Gula 1958-1980, memaparkan medio Desember 1957 jadi salah satu kejadian bersejarah untuk PG Djatiroto. Pasalnya pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih perusahaan Belanda termasuk perkebunan dan pabrik gula. Nasionalisasi perkebunan tebu itu bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan memacu peningkatan produktivitas sebagai bentuk  sumbangsih pendapatan negara. Pihak Belanda diwakili oleh Grit Van Litje dan Schipolt yang menduduki jabatan sebagai administrator PG Djatiroto. Di sisi lain, beberapa tokoh nasional diantaranya Soekarno, Soekandar dan Mochtar Effendi (pegawai PG Djatiroto) menjadi wakil Indonesia pada momen tersebut.


Redaktur: Any Rahmayani

Post a Comment

0 Comments