![]() |
| Potret Ong Hok Ham (insideindonesia.org) |
Oleh: Hardiansyah | Sejarawan Bengkulu
Biasanya, sejarawan menulis sejarah seorang tokoh yang menjadi pelaku utama sebuah peristiwa sejarah. Namun uniknya, buku ini ditulis oleh sejarawan dan menceritakan kisah hidup seorang sejarawan. Bukan seorang sejarawan biasa namun sejarawan yang memiliki riwayat hidup yang kompleks dengan sudut pandang hidup yang berubah-ubah sebelum akhirnya mematrikan diri sebagai orang Indonesia. Sejarawan yang dimaksud ialah Ong Hok Ham.
Sudah lumrah jika penulisan biografi menggunakan pendekatan hiperbola dimana tindakan kecil dibesar-besarkan dan kesalahan atau sebuah dosa ditutup dan tak diceritakan. Biografi seolah membaca kisah hidup manusia setengah dewa dengan kesabaran, ketabahan, dan usaha yang luar biasa tokoh tersebut dalam menjalani pernak-pernik kehidupannya sehingga memiliki nilai moral seperti biografi tokoh-tokoh pahlawan nasional. Padahal kisah manusia menjadi sempurna dengan tidak mencabut unsur manusiawi dalam penulisan biografi tokoh tersebut.
Hal tersebut tidak akan ditemukan dalam biografi ratusan lembar ini. David Reeve sang penulis memaparkan Onghokham, sejarawan yang ditelisiknya tersebut secara sangat manusiawi. Sebagai manusia Reeve memberikan gambaran betapa baik hatinya Ong mengundang ke rumahmya banyak kolega dengan makan malam, pesta-pesta hingga kebaikan pribadinya yang terkesan tidak tahu membedakan mana kebaikan dan mana dimanfaatkan. Namun di sisi lain, keroyalan Ong dalam mengundang pesta dan makan malam tersebut tidak dapat menutupi pribadinya sebagai dosen yang membosankan untuk mahasiswa, kebosanan koleganya karena Ong selalu mengupas dan mendiskusikan hal yang sama dan lain sebagainya.
![]() |
| David Reeve dan Ong Hok Ham (Indoprogress.com) |
Reeve membuka biografi ini dengan sebuah pertanyaan apa jati diri keluarga Ong sebenarnya. Keluarga Ong yang merupakan raja gula pada masa lalu, lifestyle mereka serta garis genealogi yang menghubungkan satu keluarga Tionghoa dengan keluarga lainnya. Selain itu, keluarga Ong sendiri gamang dengan identitas mereka. Mereka tidak lagi menggunakan bahasa mandarin dan lebih menggunakan bahasa Belanda di rumah. Mereka adalah contoh bagus bagaimana golongan peranakan yang "terbelandakan" dan seolah terpinggirkan setelah Indonesia Merdeka.
Mereka gembira saat pasukan Belanda datang saat revolusi Indonesia tapi kemudian menyatakan diri sebagai orang yang pro Belanda tentu adalah kebijakan yang tidak popular. Sampai akhirnya Ong menemukan Jawa dan budayanya yang sangat menarik hatinya. Ong menyusuri garis genealogi keluarga dan menemukan bahwa keluarga-keluarga Tionghoa dahulu menjalin relasi yang erat dengan penguasa pribumi. Hal tersebut memberikan ia legitimasi akan asal-usulnya serta di sisi lain menjadikan ia sejarawan peranakan yang memiliki informasi paling kaya seputar informasi mengenainya. Faktor inilah yang menjadikan Ong lompat studi dari awalnya studi hukum ke studi ilmu sejarah.
Reeve mendeskripsikan Ong sebagai seorang manusia yang kompleks. Ong yang kosmpolit, suka berpesta dan melakukan jamuan makan malam, Ong yang royal bahkan terkadang sedikit menyebalkan namun di sisi lain ia piawai dalam menulis tema-tema terkait sejarah, serta diakui oleh rekan sejawatnya baik di luar maupun di dalam negeri.
Pada biografi Onghokham ini kita akan dibuat mengernyitkan kening bagaimana Ong merestui kisah-kisah "dosanya yang terkutuk" dimasukkan dalam biografinya walaupun akan mendapatkan cibiran. Bagi Ong, sejarah yang jujur itu penting, sebuah biografi yang apa adanya sehingga jadilah buku yang ditulis oleh koleganya, David Reeve ini menjadi hidup dan menghidupkan kembali Ong dalam tulisan.
Pak Reeve atas persetujuan Ong sendiri tidak mensensor kisah seperti ibu Ong seorang penjudi kakap, ayahnya yang tidak bisa bangun pagi. Orientasi seksual Ong yang menyimpang, bahkan secara jelas Ong mengakui bahwa ia bermasturbasi pada usia 12 tahun, tepat pada tahun saat Indonesia menuju kemerdekaannya.
Ia adalah orang Tionghoa, seorang pemabuk, suka makan daging babi dan seorang dengan orientasi seksual yang berbeda. Kurang apalagi buku ini memberi kejutan. Sebuah dosa yang jarang orang akui, namun Ong sendiri akui dengan segala konsekuensi. Pasca 1965 ia depresi dan dalam depresinya ia mampu menyelesaikan skripsi tebal tetang runtuhnya Hindia-Belanda.
![]() |
| Buku Runtuhnya Hindia Belanda karya Onghokham (Gramedia Pustaka Utama) |
Segera setelah menyelesaikan skripsinya ia mendapatkan "Beasiswa" ke Amerika untuk menuntut ilmu disana. Apa yang disebut dengan Beasiswa tersebut adalah hasil sumbangan para guru besar yang melihat potensinya sebagai sejarawan masa depan. Ruth MC Vey, Ben Anderson, dan Lance Castle merogoh tabungan mereka agar Ong bisa belajar di Amerika. Relasinya dengan para Indonesianis ini telah terjalin semenjak ia banyak mendampingi mereka untuk melakukan penelitian di Indonesia.
Ong adalah sejarawan yang mengeluarkan sejarah dari lingkup akademik dan dapat dibaca oleh publik. Tulisannya tersebar di Star Weekly, Kompas, The Jakarta Post ataupun Jurnal Prisma. Pada masa itu sejarawan menulis di media terasa kurang gengsinya namun tidak dengan Ong.
Ong memang bukanlah seorang tokoh seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan lain sebagainya yang mengambil peran dalam membentuk Republik. Saat jepang menyerah tanpa syarat, keluarga Ong justru sembunyi di Malang dan menjadi saksi yang pasif. Namun, kompleksitas kehidupan Ong yang tercermin dalam pergulatan batin, cermin kejiwaannnya serta hadirnya Ong dalam peristiwa-peristiwa besar negara ini layak untuk dikisahkan.
Sentuhan tangan Pak Reeve menjadikan wawancara berhari-hari dengan Ong yang kena stroke, berburu surat-surat Ong pada kolega dan sumber-sumber yang sulit diperoleh menjadi sebuah tulisan segar yang menarik untuk dibaca. Tidak berlebihan kiranya jika buku Biografi Onghokham yang ditulis oleh David Reeve ini adalah salah satu biografi terjujur dan terbaik yang pernah saya baca.



0 Comments