ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Rakai Pikatan dan Politik Harmoni di Tanah Jawa

Relief di Candi Prambanan yang diduga menggambarkan sosok Rakai Pikatan (travelinkmagz.com)

Oleh: T.H Hari Sucahyo
Pegiat di Cross-Disciplinary Discussion Group "Sapientiae"


 Kepemimpinan Rakai Pikatan mencerminkan pemikiran yang jauh melampaui zamannya, melalui kebijakan yang mendukung toleransi dan keberagaman. 

Di tanah Jawa abad ke-9 M, di antara kabut pegunungan dan aliran sungai yang membelah hutan tropis, berdirilah sebuah kerajaan yang menjadi panggung bagi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara: Rakai Pikatan. Namanya mungkin tak sepopuler raja-raja besar di kemudian hari, namun di balik keteduhannya tersimpan kisah tentang kepemimpinan yang melampaui batas agama, darah, dan kekuasaan. Ia adalah sosok yang menyatukan dua dunia yang bertolak belakang, yakni Hindu dan Buddha, dengan kebijakan, kebijaksanaan, dan hati yang memahami makna keberagaman sejati (Soekmono, 1973).

Rakai Pikatan lahir dalam konteks politik yang kompleks. Pulau Jawa kala itu menjadi rumah bagi dua wangsa besar: Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Siwa dan Wangsa Syailendra yang memeluk ajaran Buddha Mahayana (Coedès, 1968). Selama beberapa dekade, kedua dinasti ini bersaing dalam pengaruh politik, budaya, dan spiritual. Borobudur, candi megah yang menjulang di dataran Kedu, adalah puncak kejayaan Syailendra, sementara Sanjaya mengukir kekuasaannya lewat candi-candi Siwa di dataran tinggi Prambanan (Boechari, 1981). Di tengah rivalitas itu, lahirlah seorang pemimpin yang melihat melampaui batas perbedaan. Rakai Pikatan bukan hanya raja dalam arti politik, tetapi juga pemersatu dalam arti peradaban (Muljana, 2006).

Langkah besar Rakai Pikatan terjadi ketika ia menikahi Pramodhawardhani, putri dari Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Pernikahan ini tidak sekadar kisah cinta dua insan, tetapi menjadi jembatan antara dua dinasti yang selama ini terpisah oleh kepercayaan dan kepentingan (Munoz, 2006). Dalam dunia politik kuno, perkawinan sering menjadi alat diplomasi. Namun dalam kasus ini, cinta dan politik berpadu dalam keseimbangan yang luar biasa. Dengan pernikahan itu, Rakai Pikatan tidak hanya memperoleh legitimasi kekuasaan yang lebih luas, tetapi juga membuka jalan bagi harmoni antara dua pandangan hidup besar di Jawa (Poerbatjaraka, 1958). Ia menunjukkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk berkonflik, melainkan peluang untuk saling memahami.

Candi Borobudur (shutterstock via kompas.com)

Kepemimpinan Rakai Pikatan mencerminkan pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Ia tidak menyingkirkan pengaruh Buddha meski berasal dari latar Hindu-Siwa. Justru di masa pemerintahannya, kedua tradisi tersebut berkembang berdampingan. Borobudur tetap dihormati, dan di sisi lain, ia memprakarsai pembangunan Candi Prambanan, sebuah mahakarya arsitektur Hindu yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Dalam pandangan modern, mungkin tampak bahwa Prambanan dibangun sebagai simbol supremasi baru setelah era Buddha, tetapi jika ditelusuri lebih dalam, keduanya justru mencerminkan dialog budaya dan spiritual yang saling melengkapi.

Di satu sisi berdiri gunung batu Borobudur, yang mengajarkan perjalanan manusia menuju pencerahan; di sisi lain menjulang menara Prambanan yang menggambarkan kesetiaan, cinta, dan pengabdian dalam kisah Ramayana. Keduanya adalah dua sisi dari satu jiwa Jawa: yang percaya pada keseimbangan dan keselarasan.

Sikap Rakai Pikatan terhadap agama bukan sekadar toleransi pasif, melainkan kebijakan aktif yang mengakui nilai setiap keyakinan. Ia memahami bahwa keutuhan kerajaan tidak dapat dibangun di atas keseragaman, tetapi di atas kesadaran bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Di bawah pemerintahannya, para pemeluk Siwa dan Buddha tetap mendapatkan tempat untuk beribadah, berkreasi, dan berkarya. Seni, sastra, dan arsitektur berkembang pesat karena tidak ada yang dibatasi oleh garis dogma. Politiknya bukan politik dominasi, tetapi politik keseimbangan. Dalam konteks yang lebih luas, Rakai Pikatan telah menanam benih bagi konsep “Bhinneka Tunggal Ika” jauh sebelum kalimat itu diabadikan oleh Mpu Tantular beberapa abad kemudian.

Kendati demikian, jalan menuju harmoni tidak pernah mudah. Dalam prasasti-prasasti kuno disebutkan adanya pergolakan antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa, saudara iparnya dari Wangsa Syailendra yang menentang kekuasaannya. Konflik ini menunjukkan bahwa idealisme selalu diuji oleh ambisi manusia. Akan tetapi, kemenangan Rakai Pikatan atas Balaputradewa bukan sekadar kemenangan militer. Ia tidak menghancurkan, melainkan menata ulang keseimbangan politik di Jawa. Balaputradewa akhirnya pergi ke Sumatra dan menjadi raja di Sriwijaya, sementara Jawa memasuki masa stabilitas baru. Dengan cara itu, Rakai Pikatan memastikan bahwa kekuasaan tidak harus menghapus perbedaan, melainkan menyalurkannya menjadi energi untuk membangun.

Melihat sosok Rakai Pikatan dari jarak waktu lebih dari seribu tahun, kita menemukan relevansi yang mengejutkan. Dunia kini menghadapi krisis toleransi dalam berbagai bentuk, baik agama, politik, ideologi, bahkan perbedaan pendapat di ruang digital. Banyak pemimpin berlomba menunjukkan kekuatan dan kebenaran versi mereka, tetapi sedikit yang berani merangkul perbedaan sebagai kekayaan. Dalam konteks itu, Rakai Pikatan memberi teladan: bahwa kepemimpinan sejati tidak mengandalkan dominasi, melainkan kemampuan untuk menenangkan gejolak tanpa memadamkan cahaya pihak lain.

Candi Prambanan (mediaindonesia.com)

Refleksi terhadap kebijakan Rakai Pikatan juga mengingatkan kita bahwa harmoni tidak tercipta dari kebetulan. Ia harus dirawat melalui tindakan nyata. Dalam konteks modern, hal ini dapat diterjemahkan dalam upaya merawat keberagaman sosial, budaya, dan agama yang menjadi ciri Indonesia. Bila di masa lalu seorang raja dapat menyatukan dua tradisi besar di bawah satu panji kedamaian, maka di masa kini para pemimpin dan warga bangsa seharusnya mampu meneladani semangat yang sama. Perbedaan keyakinan, bahasa, atau pandangan politik seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling menjauh. Justru seperti halnya Prambanan dan Borobudur yang berdiri tidak jauh satu sama lain, keberagaman seharusnya menjadi lanskap yang memperindah peradaban.

Ada keindahan yang halus dalam cara Rakai Pikatan memahami kekuasaan. Ia tidak memerintah hanya dengan pedang atau prasasti, tetapi dengan simbol-simbol yang abadi. Candi Prambanan bukan sekadar tempat ibadah; ia adalah pernyataan tentang kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Relief kisah Ramayana di dinding candi itu bukan hanya legenda, melainkan cermin dari nilai moral yang dijunjung tinggi: cinta, pengorbanan, dan kesetiaan terhadap kebenaran. Ketika Pramodhawardhani mendampingi suaminya membangun candi tersebut, keduanya seolah mengabadikan cinta mereka dalam batu, sebuah cinta yang tidak hanya menyatukan dua manusia, tetapi dua keyakinan besar. Dari sanalah lahir satu bab penting dalam sejarah toleransi Nusantara.

Zaman boleh berganti, tetapi pesan dari masa Rakai Pikatan tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa harmoni tidak berarti menghapus perbedaan, melainkan mengatur irama di antara nada-nada yang beragam agar menghasilkan simfoni yang indah (Muljana, 2006). Ia juga mengingatkan bahwa politik yang beradab tidak berakar pada kekuasaan semata, melainkan pada kebijaksanaan untuk mendengar, menghormati, dan menyeimbangkan (Soekmono, 1973). Dalam dunia yang semakin terpolarisasi hari ini, mungkin kita perlu kembali menatap bayangan Prambanan saat senja jatuh, membayangkan sosok raja dan permaisurinya yang berjalan di antara bebatuan purba, menatap dua dunia yang dulu sempat berseteru, kini berdampingan dalam keheningan abadi.

Sejarah memang tidak selalu mencatat dengan sempurna. Banyak kisah Rakai Pikatan yang mungkin telah larut dalam waktu, tertimbun oleh debu abad dan tafsir yang beragam. Namun di balik ketidakpastian itu, satu hal tetap jelas: ia telah menanamkan nilai yang melampaui masa hidupnya, bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan. Ia bukan hanya raja dalam pengertian politik, tetapi pemimpin spiritual yang memahami hakikat hidup bersama. Mungkin itulah mengapa namanya tetap hidup dalam ingatan sejarah, bukan karena penaklukan yang dilakukan, melainkan karena kedamaian yang diwariskan.

Ketika kita menatap Prambanan hari ini, dengan menaranya yang menjulang seolah menyentuh langit, kita sebenarnya sedang menatap refleksi gagasan besar yang pernah hidup di benak Rakai Pikatan. Di antara relief dan batu yang diam, tersimpan pesan tentang kebersamaan, cinta, dan kebijakan yang melampaui zaman. Dunia modern mungkin telah berubah, tetapi nilai-nilai yang ia wariskan tetap menjadi cahaya penuntun. Dalam kehidupan berbangsa yang kian kompleks, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin dengan hati seperti Rakai Pikatan yang mampu melihat perbedaan bukan sebagai jurang, tetapi sebagai jembatan menuju kemanusiaan yang lebih luhur.

Mungkin saja, di situlah letak keabadian sejati seorang raja. Bukan pada kekuasaan yang pernah ia genggam, bukan pula pada candi yang ia bangun, melainkan pada warisan tak kasat mata: kemampuan untuk menumbuhkan kedamaian di tengah keragaman. Rakai Pikatan telah menunjukkan bahwa ketika cinta dan kebijaksanaan berpadu, sejarah tidak hanya mencatat kejayaan, tetapi juga kebersamaan yang membentuk wajah bangsa hingga hari ini.

Post a Comment

0 Comments