ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Menarik Makna dari Kongres Muhammadiyah Pertama di Luar Jawa

Semarak warga Bukittinggi menyambut Kongres Muhammadiyah ke-19, Maret 1930
(Sumber: sindonews.com)


Oleh: 

Hardiansyah | Sejarawan Bengkulu, Pegiat Sejarah Muhammadiyah

 

Penyelenggaraan Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittingi pada Maret 1930 diliputi sejumlah keraguan, baik dari sisi finansial maupun kondsi sosial di Tanah Minang. Namun hal itu berhasil dipatahkan, perhelatan ini menjadi kongres pertama Muhammadiyah di luar Jawa dan berlangsung semarak.

 Ada ujar-ujar yang sayangnya saya lupa dari tulisan siapa saya baca bahwa harga diri orang Minangkabau terletak pada adat dan agamanya. Mereka tidak akan marah jika dikatakan kurang pintar, miskin, kikir dan lain sebagainya namun jangan pernah mengatakan mereka sebagai pribadi yang tak beradat atau tak beragama.Terbukti sampai sekarang, adat maupun Islam di Minangkabau terus di kaji oleh para peneliti yang menandakan demikian dinamisnya adat dan Islam di daerah ini. Orang Minangkabau bisa jadi berhemat dan membelanjakan hartanya dengan hati-hati untuk keperluan hidupnya, namun jika berkaitan dengan agama, mereka akan menjelma menjadi kaum muslimin yang paling royal membelanjakan hartanya. Bagi mereka tidak menyumbang untuk agama adalah sebuah sengatan pada harga dirinya.

Persepsi itu sangat relevan ketika membaca karya penelitian Fikrul Hanif Sufyan, seorang sejarawan muda Muhammadiyah yang telah banyak mengangkat sepak terjang tokoh maupun dinamika perkembangan persyarikatan ini di Minangkabau. Uda Fik- panggilan akrab untuk beliau- meramu sumber-sumber sejarah yang kaya berkaitan dengan kongres Muhammadiyah ke-XIX, 14-21 Maret 1930, menjadi sebuah karya historiografi yang bukan hanya penting bagi Muhammadiyah namun juga penting bagi kajian terkait dinamika perkembangan Islam di negeri Adityawarman tersebut.

Hal yang perlu dicatat bahwa Kongres Muhammadiyah ke-XIX di Fort de Kock (Bukit Tinggi) adalah kongres pertama Muhammadiyah yang dilakukan di luar Pulau Jawa. Gagal atau berhasilnya kongres ini adalah pertaruhan bukan saja untuk warga Muhammadiyah di Minangkabau namun juga Muhammadiyah di Hindia-Belanda saat itu. Ada rasa tak percaya diri sebenarnya yang menghinggapi utusan Muhammadiyah Minangkabau di Kongres Solo XVIII, saat Fachroedin mengusulkan kongres ke XIX dilaksanakan di Minangkabau.

Usulan dari Fachroedin bukan tanpa alasan. Kiai muda ini telah melakukan kunjungan (tourne) sebelumnya ke pelosok Minangkabau melihat bagaimana perkembangan organisasi warisan Kiai Ahmad Dahlan Tersebut di sana. Dari pengamatannya yang jeli, Fachroedin yakin bahwa Minangkabau adalah tempat yang tepat diadakan kongres selanjutnya.

Di sisi lain ketidakpercayaan diri utusan dari Minangkabau tersebut bukanlah tanpa alasan mengingat daerah Minangkabau setidaknya mengalami peristiwa yang pahit beberapa tahun sebelumnya. Pertama, pemberontakan Kuminih (komunis) yang gagal membuat luka bagi masyarakat Minangkabau dan trauma bagi pejabat pemerintah. Golongan kuminih ini berasal pula dari kalangan Islam Modernis dalam Sumatera Thawalib dimana tokohnya Datuk Batuah adalah salah satu murid terpandai Haji Abdul Karim Amrullah, tokoh yang kemudian menjadi in isiator hadirnya Muhammadiyah di Minangkabau. Walaupun Muhammadiyah secara nasional mendapatkan penilaian positif dari gubernur jenderal, namun dari tingkat lokal reaksi berbeda ditunjukkan oleh para pejabat kolonial. Muhammadiyah masih dicurigai apalagi beberapa tokoh komunis yang “bertobat” bergabung dalam Muhammadiyah.

Kedua, Penentangan yang kuat dari golongan tua terhadap Muhammadiyah. Pada beberapa kasus di Minangkabau, Muhammadiyah dihalang-halangi oleh ulama kaum tua dan pengikutnya. Jika kongres ini dilaksanakan di Minangkabau maka tentunya akan mempertajam friksi dan gesekan dengan ulama golongan tua.

Mobil-mobil yang disiagakan untuk peserta Kongres Muhammadiyah ke-19
di Bukittingi, Maret 1930. (Dok: suaramuhammadiyah.id)


Walaupun demikian, Kiai Fachroedin yang mengunjungi langsung Minangkabau menemukan kekuatan yang luar biasa dari Muhammadiyah Minangkabau yaitu: soliditas yang dibangun dari kekerabatan, jaringan guru dan murid, serta jaringan rantau yang terbentuk dari budaya merantau mereka. Selain itu, vitalitas gerakan Muhammadiyah dengan munculnya tokoh-tokoh muda yang dinamis adalah sebuah jaminan lainnya bahwa amanah penyelenggaraan kongres ke-XIX akan berjalan dengan baik.

Penyelenggaraan kongres-XIX yang meriah disaat resesi ekonomi mendera dan perdagangan yang menjadi titik tumpu denyut ekonomi warga Muhammadiyah sedang lesu-lesunya adalah paradoks yang membuktikan bahwa untuk agama orang Minangkabau akan rela hati menyumbangkan hartanya walaupun dalam kondisi terdesak. Semangat “Induik bajaso mati bepusako” ditunjukkan oleh anggota Muhammadiyah Minangkabau dalam prosesi dan rangkaian kongres tersebut. Warga Muhammadiyah mampu memuliakan tamu-tamu yang hadir dengan baik. Bahkan mereka rela berpanas-panasan untuk menunggu ataupun menjemput tamu dari jauh.

Kongres Muhammadiyah ke-XIX ini bukan saja bermakna bagi Muhammadiyah namun juga bermakna bagi terbentuknya imajinasi sebuah kebangsaan. Di dalam medan kongres, semua suku berbaur, bercengkarama, berdiskusi maupun diberikan kesempatan berpidato secara egaliter. Peserta kongres dari barat maupun timur Hindia-Belanda diminta menggunakan baju daerah masing-masing menandakan bahwa Muhammadiyah tidak anti dengan budaya lokal. Medan kongres benar-benar menunjukkan secara nyata semboyan kita “berbeda-beda namun tetap satu jua”. Kongres juga menjadi tempat tumbuhnya rasa senasib dan sepenanggungan karena halangan-halangan terhadap laju Muhammadiyah di daerah-daerah ternyata hampir sama mulai dari masjid yang dibongkar, friksi dengan kaum tua, hingga larangan bertabligh.

Selain hal tersebut, suksesnya kongres Muhammadiyah di Minangkabau meningkatkan kepercayaan diri warga Muhammadiyah dimanapun berada. Mereka yang biasanya memandang orang Jawa lebih maju dan lebih siap dalam melaksanakan kegiatan nasional ternyata mampu juga orang Minangkabau melakukannya. Dengan bahasa yang sedikit hiperbola tampak penerus Diponegoro dan Imam Bonjol bersama-sama bergherak demi kemajuan agama di bawah payung Muhammadiyah.

Kongres juga memperlihatkan bagaimana Muhammadiyah responsif terhadap isu perempuan. Ibu–ibu Aisyiyah dan para remaja Puteri bersidang di ruang tertutup. Pidato-pidato mereka berisi ajakan untuk memajukan kaum perempuan, dari perempuan untuk perempuan. Sidang-sidang tersebut tidak dihadiri oleh lelaki menandakan bahwa Muhammadiyah mendukung perempuan mengatur dirinya sendiri lepas dari campur tangan laki-laki yang sering salah memahami apa maunya perempuan.

Pada Kongres Muhammadiyah ini pula ditunjukkan diskusi saling terbuka antara Kiai Mas Mansur dan Haji Rasul. Pasalnya adalah Hoofdbestuur (Pimpinan pusat) memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berpidato di hadapan peserta kongres laki-laki. Bagi Haji Rasul hal tersebut adalah sesuatu yang haram. Mas Mansur yang menjadi perwakilan HB Muhammadiyah mengajak berdialog dari hati ke hati. Perdebatan itu dihadiri oleh para murid Haji Rasul dan anggota HB Muhammadiyah.

Dialog tersebut berakhir dengan sangat manis. Menurut Hamka dalam bukunya Ayahku, Haji rasul yang juga adalah ayahnya telah kalah dalam melawan Mas Mansur, namun Mas Mansur sendiripun tidak mau menyinggung lebih dalam Haji Rasul. Perdebatan itu menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa perempuan berpidato di depan laki-laki Makruh namun boleh jika ada kepentingan. Walaupun demikian Hoofdbestuur Muhammadiyah membatalkannya demi menghormati guru yang dibanggakan warga Muhammadiyah Minangkabau. Murid Haji Rasul yang biasanya menyaksikan perdebatan dengan tarik urat leher sekarang belajar bagaimana berdebat dengan saling bertasamuh sesama saudara.

Buku karya Fikrul Hanif Sufyan (2025) yang mengupas kesuksesan 
Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi pada 1930 (Dok. UGM Press)

Kisah ini memnag kisah kecil saja yang terselip dari Kongres Muhammadiyah Minangkabau namun artinya besar untuk masa depan. Relasi antara orang Minangkabau dan orang Jawa baik di Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun pengurus daerah berjalan dengan baik dan minim friksi sampai saat ini. Tentu secara tidak langsung hal tersebut berkat contoh elitenya dalam hal ini Mas Mansur dan Haji Rasul yang sama-sama mampu bertoleransi terhadap sikap dan pandangan masing-masing.

Akhir kata buku ini direkomendasikan untuk dibaca dengan baik. Gambaran kongres dan bagaimana semangat dalam melaksanakan kongres hendaknya juga menular dalam setiap zaman. Kongres ini sesuai sekali dengan pesan Kiai Dahlan “Islam yang gembira” ataupun pesan nabi Muhammad “gembirakanlah jangan buat mereka lari”

Post a Comment

0 Comments