ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Ketika Demonstrasi Menggugat Diplomasi

Berita tentang demonstrasi umum 17 Februari 1946 di Yogyakarta. (Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat)


Oleh:

Wahyu Agil Permana | Mahasiswa Sejarah, Universitas Lampung


Inilah demonstrasi umum pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Sebuah gerakan akar rumput yang lebih dari sekadar mobilisasi massa, tetapi juga menandai peristiwa penting dalam gelombang prodemokrasi pada masa awal kemerdekaan. 

Pagi itu, 17 Februari 1946 pukul 07.00, alun-alun utara Yogyakarta dibanjiri gelombang massa. Ribuan rakyat datang dari berbagai penjuru kota. Lapangan hijau yang bersih seketika menjelma lautan manusia, yang dihiasi oleh bendera-bendera kebangsaan, poster-poster, dan semboyan-semboyan yang semuanya menuntut kemerdekaan 100%.

Disinyalir, aksi ini dipicu oleh kekecewaan sebagian besar rakyat Indonesia terhadap kebijakan pemerintah, yang saat itu tengah mengupayakan diplomasi dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik. Perundingan itu dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat dan cita-cita kemerdekaan 100%.

Surat kabar Kedaulatan Rakjat 13 Februari 1946 menerangkan, demonstrasi ini tidak muncul secara spontan, melainkan diprakarsai oleh Persatuan Perjuangan (sebuah koalisi politik revolusioner yang didirikan oleh Tan Malaka).

“Tepat pada 12 Februari 1946, Persatuan Perjuangan melalui rapat bersama seluruh anggotanya sepakat untuk mengadakan demonstrasi pada 17 Februari 1946, sekaligus dalam rangka memperingati enam bulan berdirinya Republik Indonesia,” tulis surat kabar itu.

Melalui rapat itu, sekretariat Persatuan Perjuangan menyerukan agar seluruh anggotanya turut bekerja sama dalam menyelenggarakan demonstrasi. Rapat Persatuan Perjuangan itu juga merumuskan secara jelas pokok-pokok tuntutan yang akan dijadikan landasan demonstrasi.

Tuntutan-tuntutan itu disusun secara kolektif oleh Persatuan Perjuangan sebagai respons atas arah kebijakan pemerintah yang dinilai mulai menjauh dari cita-cita revolusi. Tuntutan itu juga ditujukan kepada dunia internasional, sebagai pesan yang menggambarkan kebulatan tekad segenap rakyat Indonesia.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX (kiri), Presiden Sukarno, dan KGPAA Pakualam VIII dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta (Sumber: ANRI).

Menurut Kedaulatan Rakjat 15 Februari 1946, tuntutan demonstrasi ini menggambarkan bulatnya kemauan rakyat Indonesia yang dengan segenap kekerasan menuntut terlaksananya: 1) isi minimum program Persatuan Perjuangan, 2) penarikan tentara Inggris-NICA dari Indonesia, 3) melenyapkan pengadilan dan polisi internasional dari Indonesia, 4) mengembalikan pemuda dan gadis-gadis yang ditawan oleh Inggris-NICA, 5) membatalkan perundingan dengan Clark Keer-Van Mook, sebelum syarat-syarat atas pengakuan Indonesia merdeka (adat internasional) ditepati.

Demonstrasi yang berlangsung tertib namun penuh semangat itu diikuti juga oleh sejumlah tokoh penting. Sebagaimana yang diberitakan Kedaulatan Rakjat pada 18 Februari 1946, di antara tamu yang hadir adalah K.G.P.A.A Paku Alam, Panglima Besar Sudirman beserta stafnya, bangsawan-bangsawan, serta beberapa pembesar dan orang-orang terkemuka. Acara diawali dengan seremoni peringatan enam bulan kemerdekaan Indonesia, lalu dilanjutkan dengan rapat raksasa kaum buruh.

Sudali selaku Pemimpin Laskar Buruh dalam orasinya menyatakan, kaum buruh sebagai tiang masyarakat harus tahu kewajiban dan kesanggupannya dalam memusnahkan segala gangguan, baik dari luar maupun dari dalam, yang hendak mengancam kehormatan Republik Indonesia.

Tampil juga ke muka S.K Trimurti yang dengan lantang menegaskan agar kaum buruh hendaknya selalu mengingat prajurit bangsa yang sedang berjuang di medan pertempuran. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat hubungan antara garis depan dan belakang, supaya tidak timbul kontra revolusi.

Tak hanya itu, KGPAA Paku Alam yang mewakili Sultan Yogyakarta juga turut memberikan pidato. Ia menegaskan bahwa selama enam bulan terakhir, bangsa Indonesia telah berjuang tanpa henti demi mewujudkan kemerdekaan seutuhnya.

Perjuangan itu, ungkapnya dalam Kedaulatan Rakjat 18 Februari 1946, bukan lagi sekadar urusan dalam negeri, tetapi telah menjadi persoalan penting dalam politik internasional. Kaum buruh tidak boleh tinggal diam, melainkan harus menunjukkan sikap dan peran nyata supaya mendapat tempat dan penghargaan yang pantas sebagai bangsa yang merdeka.

Menjelang sore, sejak pukul 15.30 hingga 17.00, massa aksi memulai arak-arakan yang membentang sejauh kurang lebih 15 kilometer. Barisan panjang itu bergerak teratur, masing-masing membawa panji, poster, dan semboyan yang menuntut kemerdekaan 100%. Arak-arakan yang berlangsung selama hampir dua jam itu berakhir kembali ke alun-alun utara.

Di akhir acara, Jenderal Sudirman naik ke atas podium untuk menyampaikan pidatonya. Dengan suaranya yang tegas, ia mengakui bahwa perlengkapan militer Indonesia masih terbatas. Namun, kendatipun begitu, semangat perjuangan rakyat tidak bisa dipatahkan.

“Asalkan ada persatuan nasional yang benar-benar, seperti dalam Persatuan Perjuangan, maka perjuangan itu akan menang. Tentara akan hidup dan mati bersama rakyat,” pungkasnya dalam Antara, Dalam Negeri, 19 Februari 1946. Demonstrasi pun usai beriringan dengan senja yang mulai turun serta langit Yogyakarta yang berangsur gelap. Massa aksi pun perlahan membubarkan diri.

Post a Comment

0 Comments