ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Pergerakan Kaum Perempuan Kalbar dan Lahirnya Kesadaran Kolektif

Peserta diseminasi Pergerakan Perempuan di Kalimantan Barat (1926-1945) (Dok. Leony, 2025)

Oleh: Judirho 

Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Tanjungpura


Historiogafi sejarah lokal perlu diseimbangkan dengan narasi keterlibatan perempuan yang tidak sedikit berkontribusi dan berperan besar di tengah masyarakat kala itu, khususnya di Kalimantan Barat dimana kajian ini masih jarang dilakukan.


Sejarah perempuan di Kalimantan Barat selama ini tampak terpinggirkan dari narasi besar pergerakan bangsa. Padahal, jejak perjuangan mereka telah lama melebur dalam berbagai fase sosial dan politik terutama di Kalimantan Barat (Kalbar), hanya saja mereka tertutup oleh penulisan sejarah yang terlalu menonjolkan maskulinitas dan tokoh laki-laki. Pandangan itu mengemuka dalam kegiatan diseminasi penelitian yang digelar di Aula Tertutup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura, Rabu, (12/11/2025).

Ketua Tim Penelitian Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Untan, M. Rikaz Prabowo, menilai sudah saatnya sejarah Kalbar dibaca ulang secara kritis agar suara perempuan yang selama ini tertahan bisa mendapatkan tempat yang layak dalam ingatan kolektif masyarakat.

“Dalam pergerakan sejarah Kalimantan Barat, kaum perempuan juga punya peranan penting, tapi penulisannya selama ini lebih menitikberatkan pada laki-laki. Usulan pahlawan terkhusus pada perempuan tentu akan dipertimbangkan, apalagi bila mereka gugur dalam perjuangan,” ujarnya.

Menurut Rikaz, jauh sebelum abad ke-20, Kalbar telah mengenal sosok-sosok perempuan berpengaruh yang mengemban tanggung jawab besar di tengah masyarakat. Nama-nama seperti Dara Juanti, Ratu Mas Jaintan, hingga I Fatimah Daeng Takontu (putri Sultan Hasanuddin yang dipercaya menjaga laut Mempawah dan dimakamkan di Temajuk) menjadi bukti bahwa kepemimpinan perempuan bukan hal asing dalam sejarah lokal.

“Peran mereka bukan hanya simbolik, tetapi nyata dalam menjaga keseimbangan sosial dan politik masyarakat pada masanya. Sayangnya, arsip-arsip sejarah banyak ditulis dari sudut pandang laki-laki sehingga kontribusi perempuan sering kali luput,” ujarnya.

Menjelang masa pergerakan kebangsaan hingga tahun 1925, Kalbar memang belum memiliki organisasi perempuan, namun gagasan mengenai pendidikan dan kesetaraan sudah mulai tumbuh di tengah keterbatasan sosial. Saat banyak pandangan menempatkan perempuan sebatas pengurus rumah tangga, muncul kesadaran bahwa pendidikan adalah kunci perubahan sosial.

M. Rikaz Prabowo, ketua tim penelitian Pergerakan Perempuan
di Kalimantan Barat
1926-1945 (Dok. Leony, 2025)

“Pendidikan waktu itu jadi isu sentral karena perempuan tidak diberi kesempatan belajar. Akibatnya, mereka jarang bekerja sebagai pegawai atau di sektor formal karena tak bisa baca huruf latin. Padahal pendidikan itu penting untuk semua kalangan, tanpa membedakan jenis kelamin,” jelas Rikaz.

Isu kesetaraan itu bahkan muncul dalam media cetak seperti Suara Borneo (1923) dan Halilintar (1924), yang menyoroti relasi intelektual antara laki-laki dan perempuan.

Dalam salah satu tulisannya, tokoh perempuan bernama Halimah dalam surat kabar Berani (1925) menyindir perempuan yang enggan memilih pasangan yang berpendidikan. Ia menulis sindiran bahwa perempuan era itu lebih memilih laki-laki yang berharta daripada tokoh intelektual atau aktivis pergerakan karena tidak menjamin kesejahteraan. Sementara di sisi lain, muncul pula pandangan bahwa masih ada laki-laki yang enggan menikahi perempuan berpendidikan karena dikhawatirkan suka melawan suami nantinya.

Narasi-narasi semacam ini menunjukkan kesadaran awal perempuan Kalbar terhadap posisinya di masyarakat bahwa menjadi terdidik berarti juga menjadi berdaya. Seiring waktu, gagasan itu mulai berwujud nyata lewat lembaga pendidikan. Sekolah suster di Singkawang pada 1909 menjadi tonggak awal pendidikan perempuan di Kalbar, sebelum menyebar hingga ke Kapuas Hulu.

Perguruan Al Qadriah (1914) dan Madrasah Al Suthaniyah Sambas (1916) juga mulai menerima murid perempuan. Pada 1927, Muhammadiyah mendirikan sekolah yang menerima murid perempuan dan menyediakan guru perempuan.“Awalnya Aisyiyah hadir hanya untuk kalangan istri Muhammadiyah, tapi kemudian menjadi ruang bagi perempuan untuk belajar, berorganisasi, dan berkontribusi sosial,” jelas Rikaz.

Memasuki 1930-an, kesadaran kolektif perempuan semakin berkembang. Berbagai organisasi lahir di Pontianak, Singkawang, Mempawah, hingga Sambas, seperti Perkumpulan Kaum Ibu Islam Pontianak (PKIIP), Perkumpulan Istri Indonesia Pontianak (PIIP), Perkumpulan Kaum Ibu Singkawang (PERKIS), Persatuan Kaum Ibu Mempawah (PKIM), Aisyiyah, dan Nasyaitul Aisyiyah.

Mereka bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan. PKIIP yang diketuai Ny. R.A. Sujarah aktif mengadakan kursus baca tulis latin, pelatihan keterampilan, bazar amal, hingga mendirikan Frobelschool pada 1939.


Ketua PKIIP R.A Sujarah dan anak-anak sekolah Frobelschool yang didirikan, 1939
(Dok. Kesedaran, April 1940)

Sementara PIIP di bawah Nyonya Amalia (istri Dokter Rubini) berfokus pada pengentasan TBC dan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Kemudian di Singkawang, PERKIS yang dipimpin Nyonya Latumanuay (kemungkinan berasal dari Maluku) berkonsentrasi pada pendidikan perempuan.

Sekolah-sekolah perempuan juga semakin banyak berdiri, seperti Perguruan Islamiyah Kampung Bangka, MULO St. Lucia Pontianak (1934), dan kursus kepandaian putri. Bahkan di Sambas, Mufti Kesultanan H.M. Bastuni Imran membuka akses pendidikan bagi perempuan di Madrasah Tabiyatul Islam, langkah progresif yang menunjukkan pandangan universal terhadap pentingnya pendidikan tanpa diskriminasi gender.

Namun geliat itu terhenti ketika Jepang menduduki Pontianak pada 1942. Banyak sekolah ditutup, organisasi dibubarkan, dan suster-suster dibawa ke Kamp Militer Jepang di Kuching, Serawak.“Sekolah suster mengalami kemunduran drastis karena banyak gedungnya diduduki militer Jepang. Hanya beberapa yang bertahan seperti Rumah Sakit Vincentius dan Rumah Sakit Kusta di Singkawang,” tutur Rikaz.

Masa pendudukan Jepang juga menjadi bab kelam dalam sejarah perempuan Kalbar. Banyak gadis lokal dipaksa bekerja di rumah bordil yang dikelola organisasi Hokukai. “Rumah bordil itu tidak gratis, bahkan tentara Jepang pun membayar. Tapi banyak gadis tidak tahu mereka digaji dan dijadikan pekerja paksa untuk kepentingan militer,” ujarnya.

Bahkan kabarnya ketua Fujinkai di Kalbar, Nyonya Amalia juga ditangkap saat mendekati periode akhir masa pendudukan Jepang, hal ini karena dianggap berpotensi melawan Jepang. “Masyarakat sempat memprotes kekerasan terhadap perempuan pada 1943, tapi justru dijadikan alasan penangkapan. Jepang takut jika nanti mereka kalah perang, perempuan-perempuan itu akan bersuara tentang kejahatan yang dilakukan,” tambah Rikaz.

Pamong Budaya bidang Sejarah Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Kalimantan Barat, Any Rahmayani, yang turut hadir dalam kegiatan diseminasi itu, menilai penelitian tersebut membuka ruang baru dalam penulisan sejarah perempuan Indonesia terkhususnya di Kalbar. “Selama ini historiografi kita sangat maskulin. Tokoh perempuan yang diangkat umumnya berasal dari kalangan elit dan memiliki privilese, seperti Kartini. Padahal ada banyak perempuan biasa yang berjuang di bidang pendidikan, kesehatan, dan bahkan melawan kekerasan seksual,” ujarnya.

Ia menekankan dan berharap mengenai pentingnya menafsir ulang sejarah perempuan dengan sumber yang lebih beragam supaya bisa dikemas dalam penulisan yang sangat menarik. “Sejarah perempuan bisa dibaca dari iklan kecantikan di surat kabar, catatan harian, atau kisah rakyat seperti kuntilanak dan sundel bolong yang sebenarnya merupakan representasi kekerasan seksual terhadap perempuan. Kajian seperti ini bisa memberi kontribusi nyata untuk memahami akar permasalahan sosial yang dihadapi perempuan hari ini,” imbuhnya. 

Post a Comment

0 Comments