ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Belajar Dari Leluhur Dalam Merawat Hutan dan Pohon di Teluk Pakedai

Sungai dan hutan di Teluk Pakedai, Kubu Raya
(Dok. Gunawan, 2025)


Oleh: Gunawan (Guru Bahasa Indonesia dan penggiat literasi di Pontianak) 


Pendekatan ekologis spiritual melalui pitutur atau petuah mistis pernah jadi warisan kultural di Teluk Pakedai, Kubu Raya, untuk menjaga alam di masa lampau. Sayang kini tak lagi ampuh, berganti mitos 'demi pembangunan'.

Dalam bentang sejarah yang sunyi, ketika relasi antara manusia dan alam belum terputus oleh pasar modal, masyarakat Teluk Pakedai telah mengenal sebuah cara luhur dalam menjaga hutan: melalui narasi mistik. Mereka tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi hidup bersama alam, menyulam keyakinan, rasa takut, dan hormat dalam jalinan kearifan yang diwariskan turun-temurun. Dalam narasi ini, hutan bukan sekadar ruang ekologis, melainkan ruang spiritual, tempat tinggal makhluk halus dan saksi bisu perjalanan leluhur.

Salah satu representasi nyata dari narasi mistik adalah kepercayaan terhadap pokok jawi-jawi—pohon beringin dalam istilah umum—yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya kuntilanak, sosok makhluk halus perempuan dalam cerita rakyat lokal. Pohon ini tabu untuk ditebang, bahkan didekati dengan niat buruk pun dihindari. Rasa takut yang dibangun bukan ancaman, melainkan sistem perlindungan. Alhasil, pohon itu tetap lestari.

Fenomena serupa berlaku pula pada pohon-pohon yang tumbuh di atas tanah pekuburan. Kendati menghasilkan buah yang lebat dan tampak menggoda, buah tersebut nyaris tak tersentuh. "Itu buah dari alam arwah," demikian suara-suara bisu yang bergaung dalam benak masyarakat. Menebang pohon di tanah makam, apalagi memakan hasilnya, dianggap mendatangkan malapetaka gaib. Namun dalam narasi ini pula terdapat peluang: buah-buah itu kemudian dijual oleh penjaga wakaf dan hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial—membiayai keperluan perawatan makam, membantu anak yatim, atau memperbaiki rumah ibadah. Mistik dan ekonomi bersatu dalam harmoni yang tak terucap dalam teori pembangunan modern.

Salah satu sudut jalan yang asri di Teluk Pakedai, Kubu Raya
(Dok: Gunawan, 2025)

Tak berhenti di sana, berbagai bentuk narasi mistik lainnya turut hadir menjaga sudut-sudut hutan kecil. Di antara rumpun bambu, dipercayai tinggal ular hitam mistik, penjaga tak kasat mata yang diyakini akan menyerang siapa saja yang mencoba merusak habitatnya. Pada pokok gorah, pokok leban, atau pokok mahang (pohon-pohon lokal yang timbuh di sana), menetap hantu junjong dapok, makhluk halus yang hanya dikenal oleh orang Teluk Pakedai. Ada pula lokasi-lokasi tertentu yang dianggap sebagai ‘tanah jin’—ruang tak tersentuh oleh manusia karena diyakini sebagai tempat tinggal makhluk gaib. Semua ini menjadikan ruang-ruang hutan, meski kecil dan tersebar, tetap terpelihara karena manusia memilih menjauh dengan penuh hormat.

Inilah bentuk ekologi spiritual—pelindung hutan yang tak butuh undang-undang tebal atau patroli. Warisan kultural yang memandang hutan bukan sebagai aset ekonomi, tapi sebagai bagian hidup. Sayangnya, negera seolah-olah menjauh dari kearifan ini. Ketika mistik lama memudar, muncul mistik baru di abad ke-21 ini: mistik pembangunan, kesejahteraan, dan kemiskinan. Sebuah narasi modern yang justru menggusur masyarakat dari hutannya.

Maka layak kita bertanya: benarkah kita tercerahkan dari dunia mistik, atau hanya mengganti wajahnya? Dahulu mistik lahir dari rasa hormat, kini dari kuasa dan modal. Hutan bukan lagi tempat bagi makhluk mitologi, tapi lahan kosong yang harus siap dieksploitasi. Barangkali negara ini, bahkan orang Teluk Pakedai sendiri meski menoleh ke belakang. Bukan untuk mundur, melainkan untuk belajar.  Bahwa hutan bisa dijaga bukan hanya dengan hukum, tapi juga dengan rasa—takut yang bermakna, hormat yang hidup, dan tanggung jawab yang tumbuh dari kepercayaan. 

Post a Comment

0 Comments