ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Jejak Jawa di Suriname: Antara Budaya dan Identitas Yang Bertahan

Buruh Jawa yang tiba di Paramaribo, Suriname. 
(Sumber: Museum Wereld Culturen)

Oleh: Lisna Fatmawati | Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura

Walaupun suku Jawa telah menetap di Suriname dalam jangka waktu yang cukup lama, namun mereka masih memiliki memori kolektif mengenai kebudayaan mereka di tanah asal. 

Tri Wahyudi dalam Residen Seni Rupa dan Bahasa Indonesia (2021) di Suriname mengungkapkan bahwa masyarakat keturunan Jawa Suriname adalah etnis yang mendiami Suriname sejak kedatangan pertama kali pada tahun 1890. Kala itu didatangkan sebagai buruh kontrak pada perkebunan tebu dan kopi oleh pemerintah Hindia Belanda. Buruh Jawa dipekerjakan untuk mengisi kekosongan para budak pekerja yang dilepaskan sebagai dampak dari penghapusan sistem perbudakan oleh Belanda untuk semua wilayah jajahannya pada tanggal 1 Juli 1863. Perjalanan para buruh Jawa menuju Suriname dengan kapal laut selama tiga bulan lamanya, ternyata penuh akan tantangan, jauh dari harapan kehidupan yang baik. Bahkan sulit untuk kembali ke Pulau Jawa setelah masa kontraknya selesai, sehingga sebagian besar dari para pekerja keturunan Jawa memutuskan untuk membuat kehidupan baru di Suriname. Budaya Jawa yang masih ada di ingatan mereka dimunculkan kembali dengan membuat budaya Jawa seperti yang ada di tempat asalnya.

Budaya Jawa di Suriname

Kesenian Kuda Lumping yang tetap dilestarikan oleh masyarakat Jawa di Suriname
(Sumber: suriname.nu)

Masyarakat Jawa yang menetap di Suriname tidak meninggalkan kebudayaan dan identitas aslinya, melainkan dipertahankan beriringan dengan bertambahnya jumlah populasi masyarakat Jawa-Suriname. Kebudayaan ini muncul dalam masyarakatnya sebagai upaya dari menjaga rasa cinta dan rindu mereka terhadap tanah kelahiran. Koentjaraningrat (1990) dalam Pengantar Ilmu Antropologi mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Walaupun suku Jawa telah menetap di Suriname dalam jangka waktu yang cukup lama, namun mereka masih memiliki memori kolektif mengenai kebudayaan mereka di tanah asal. Kebudayaan ini tergambar dalam berbagai unsur kebudayaan seperti bahasa, kesenian, dan keyakinan. Demikian Ridwan Nugroho dan Eko Ribawati (2023), dalam Budaya, Identitas, dan Migrasi : Penyebaran Suku Jawa Di Diaspora Suriname Abad XIX.

Unsur kebudayaan yang mendasar dalam kehidupan manusia yakni bahasa. Suku Jawa di Suriname menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka. Bahasa Jawa-Suriname diidentifikasi sebagai bahasa Jawa yang dalam tanda kutip ‘kasar’, dikarenakan perbedaan dengan bahasa Jawa yang digunakan pada masa kini di Indonesia. Perbedaan terjadi karena rangkaian historis dimana Jawa Ngoko (kasar) yang digunakan di Suriname masih memiliki kedekatan dengan Bahasa Jawa Kuno. Sedangkan bahasa Jawa yang digunakan di Indonesia telah mengalami adaptasi seiring perkembangan zaman. Selain itu juga, bahasa Jawa-Suriname mengalami perkembangan dan perubahan dikarenakan bahasa yang tumbuh berdampingan dengan bahasa Sranantongo dan bahasa Belanda sebagai bahasa mayoritas disana. Hal inilah yang menyebabkan bahasa Jawa-Suriname memiliki identitas yang berbeda dan khas dengan logat yang berbeda pula. 

Selain bahasa, kesenian juga merupakan bagian dari kebudayaan. Ingatan kolektif masyarakat Jawa-Suriname akan kesenian yang berasal dari tanah kelahiran tidak ditinggalkan begitu saja. Selama periode migrasi hingga kini, kesenian Jawa terus dilestarikan guna menghormati dan mengobati rasa kerinduan mereka pada tanah kelahiran. Kesenian Jawa yang berkembang di Suriname ini diekspresikan dengan berbagai bentuk salah satunya gamelan. Hoefte (1990) dalam In Place of Slavery; A Social History of British Indian and Javanese Laborers in Suriname mengungkapkan tentang gamelan Jawa di Suriname bermula. Generasi migrasi awal suku Jawa untuk mengobati rasa kerinduannya, merakit gamelan menggunakan bahan-bahan seadanya yang tersedia di Suriname. Seperti besi dari tong minyak bekas dan rel kereta api yang dipukul, dibentuk, dan disetel sesuai nada dan bunyi yang diinginkan.

Selanjutnya ada keyakinan, dimana ketika didatangkan dari Hindia Belanda mayoritas masyarakat Jawa Suriname memeluk agama Islam Sunni, da sebagian kecil menganut Hindu dan Kejawen. Dalam perkembangannya masyarakat Jawa-Suriname yang mayoritas Islam mempraktikkan nilai Islam tradisional, dan menyebutnya sebagai abangan. Di awal periode migrasi pertama masyarakat Jawa ini memiliki kemiripan dalam pelaksanaan ritual maupun peribadatan, terdapat juga nilai tradisional berciri Hindu yang masuk pada unsur keagamaan Islam di masyarakat Jawa Suriname. 


Hubungan Suriname dan Indonesia Saat Ini

Keterpecahan identitas masyarakat Jawa-Suriname tidak bisa dipisahkan dari sejarah dan Interaksi sosial dikarenakan perbedaan jarak waktu. Sehingga nasionalisme terlebih dulu muncul pada etnis Kreol dan Hindustan yang mendiami Guyana Belanda (nama Suriname sebelum merdeka). Sedangkan etnis Jawa di Suriname, nasionalisme terhadap tanah air barunya itu baru baru muncul di era 1990-an. Sebelumnya, etnis Jawa erat mengaitkan dirinya sebagai orang Indonesia. Demikian Sulistyo, Binangun, dan Sartika (2020) dalam penelitian berjudul Hibriditas, Nation, dan Aspek Nostalgis Representasi Pasca Kolonial Dalam Lirik Lagu-Lagu Jawa Suriname.

Namun, Peter Meel (2020) dalam Continuity Trough Diversity: The Surinamese Javanese Diaspora and The Homeland Anchorage menjelaskan pasca kudeta militer pada 1980-1990-an, masyarakat Jawa tidak lagi melihat pulau Jawa sebagai tanah kelahirannya. Demikian perasaan jiwa masyarakat Jawa disana antara Indonesia dengan Suriname yang terus-menerus dijalin telah membentuk sebuah jembatan baru. Membuat etnis Jawa-Suriname tetap terhubung dengan tanah leluhur baik melalui radio, televisi, dan media lainnya.   

Berdasarkan hal tersebut, hubungan yang ada antara Indonesia dengan Suriname ini lebih dari sekedar hubungan diplomatik. Melainkan merupakan sebuah kisah tentang diaspora, ingatan kolektif, dan juga pelestarian budaya. Masyarakat Jawa-Suriname yang dihadapkan dengan berbagai tantangan yang mereka hadapi namun mampu dalam mempertahankan identitas budaya mereka sambil menciptakan ruang baru yang mencerminkan perpaduan masa lalu dan masa kini. Perjalanan ini tidak hanya menghubungkan antara Suriname dan Indonesia, melainkan juga menunjukkan bagaimana budaya yang ada dapat menjadi penghubung lintas generasi serta wilayah


Post a Comment

0 Comments