ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Sung Kim Liung, Telik Sandi Gerilyawan GERAM Landak (1946-1949)

Potret Sung Kim Liung dengan seragam veterannya
(Sumber: Dok. Ahli Waris Sung Kim Liung)

 

Oleh: Karel Juniardi* dan Letkol Inf. Asrin**

*Redaktur Pelaksana Majalah Riwajat dan Dosen Universitas PGRI Pontianak

**Seksi Sejarah dan Pembinaan Mental Kodam XII Tanjungpura (2023)

Dengan berpura-pura sebagai pedagang, Sung Kim Liung bertugas sebagai telik sandi untuk Laskar Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) dalam menghadapi Belanda sepanjang perang kemerdekaan (1946-1949).

 

Tersebarnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Barat yang dirasakan antara akhir Agustus-September 1945, mendorong kaum pemuda di Ngabang yang tergugah untuk mempertahankan kemerdekaan. Didasari atas kekhawatiran akan Belanda yang ingin kembali menjajah. Oleh karenanya, dibentuk organisasi perjuangan yang dinamakan Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) pada 29 Maret 1946 di Kota Ngabang. Gusti Abdulhamid Aun ditunjuk sebagai ketua dan Gusti Affandi Rani yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil Panembahan Landak ditunjuk sebagai pelindung PRI. Organisasi PRI dibentuk untuk menyatukan segenap lapisan masyarakat di daerah sekitar Ngabang, Landak, yang dahulunya masuk Afdeeling Pontianak, dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Demikian Pasifikus Ahok dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Barat  (1992).

Dalam buku Denyut Nadi Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Barat (1945-1950) karya Syafaruddin Usman (2007), PRI berubah nama menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) pada 9 Oktober 1946, dengan tetap mempertahankan nama-nama pengurusnya. Keesokan harinya atau pada 10 Oktober 1946, GERAM melakukan serangan terhadap penjajah Belanda dengan sasaran tangsi militer Belanda, rumah kontrolir Ngabang dan pos polisi Belanda. Dalam melancarkan serangan, GERAM membagi dua daerah operasi, yaitu (1) daerah Ngabang, Air Besar, Menyuke, dan sekitarnya, dipimpin Gusti Lagum, dan (2) daerah Sengah Temila dan sekitarnya, dipimpin Bardan Nadi. Setelah berhasil merebut dan menduduki kantor Demang Desa Sepatah, Bardan Nadi dan pasukannya bergabung dengan pasukan GERAM dari Air Besar dan Menyuke. Pada hari berikutnya, GERAM melancarkan serangan ke tangsi militer Belanda di Kota Ngabang. Pasukan Belanda kemudian membalas dengan serangan yang membuat pasukan GERAM terdesak. Setelah mendapat bantuan dari Pontianak, pasukan Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan GERAM.

Pada tanggal 29 Oktober 1946, terjadi pertempuran di daerah Sidas yang dipimpin Bardan Nadi dan Pak Kasih. Dalam pertempuran tersebut, Pak Kasih gugur bersama dengan 22 orang pejuang lainnya. Sedangkan, Bardan Nadi dan pasukannya terdesak mundur dan bersembunyi di hutan. Pasukan Belanda terus mengejar dan ingin menangkap Bardan Nadi yang dianggap sebagai penggerak pecahnya pertempuran di Kota Ngabang dan Sidas. Hingga akhirnya, pada tanggal 5 November 1946, pasukan Belanda berhasil menemukan dan mengepung tempat persembunyian Bardan Nadi dan keluarganya. Dalam pengepungan tersebut Bardan Nadi menyerah dan ditangkap pasukan Belanda. Kemudian dibawa ke Pontianak untuk di penjara. Bardan Nadi kemudian di hukum mati pada bulan April 1947 di Pontianak.

Baca Juga: Indonesia Raya, Lagu Pengantar Eksekusi Bardan Nasi

Gerak Mundur dan Membentuk Sel Baru

Perjuangan  tetap berlanjut di beberapa daerah dengan dipimpin tokoh-tokoh GERAM yang berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan Belanda seperti Gusti Mohammad Saleh Aliudin dan Achmad Djajadi menuju ke daerah pesisir pantai di kawasan Kubu dan Teluk Pakedai. Pada awal tahun 1947, setelah bertemu para pemimpin pejuang di Pontianak, seperti A.S. Djampi dan Dokter Soedarso, maka Gusti Mohammad Saleh Aliuddin dan Achmad Djajadi disarankan bergabung dengan sejumlah pemuda bekas Heiho di Teluk Pakedai untuk mempersiapkan gerakan selanjutnya.

Di Teluk Pakedai, Achmad Djajadi dihubungkan dengan sejumlah pemuka Tionghoa yang bersimpati dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, seperti Boen Lien The, Liem Sun Pho, Liem Bun Kiem, Liem Tio Tjua, Liem Sia Teng, Liem Siu Mong, Liem Siu Hiong, dan Ho Tjheij Sen. Sejumlah tokoh Tionghoa di Teluk Pakedai tersebut menyatakan dukungan dan keterlibatannya dalam rencana melakukan gerakan bersenjata dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dukungan juga diberikan Demang Teluk Pakedai pada waktu itu, Gusti Achmad Djelma, dengan turut mendukung upaya yang direncanakan para pejuang secara moril dan materiil.

Laporan keberadaaan mereka dari kaki-tangan atau mata-mata kepada penjajah Belanda memaksa Gusti Saleh Aliuddin, Achmad Djajadi, dan pemimpin perlawanan lainnya di Teluk Pakedai untuk mengungsi dan mengamankan diri dari upaya penangkapan pasukan Belanda. Mereka mengungsi ke hutan lindung, seperti di kawasan Sungai Bemban Punggur dan Gunung Ambawang. Pembersihan di Teluk Pakedai yang dilakukan oleh pasukan Belanda membuat perlawanan dipusatkan di sekitar kawasan Tebang Kacang, Kampung Asam, Peniraman, Sungai Purun, hingga Sungai Pinyuh.


Aksi Sung Kim Liung Memata-matai Belanda

Dari kisah perlawanan organisasi GERAM di daerah Landak dan Teluk Pakedai terhadap penjajah Belanda di atas, terdapat kisah salah seorang pejuang Kalimantan Barat pada masa perang kemerdekaan Indonesia, yaitu Sung Kim Liung. Dikisahkan pada sekitar tahun 1947, pemuda bernama Sung Kim Liung yang waktu isu berusia 18 tahun, mempunyai peran dan tugas khusus yaitu menyusup masuk ke daerah musuh (penjajah Belanda) untuk menyelidiki kekuatan pertahanannya. Aksi penyusupan sebagai telik sandi ini dijalankannya dengan berpura-pura sebagai masyarakat biasa, misalnya sebagai pedagang. 

Daerah operasi penyusupan Sung Kim Liung adalah di sekitar Sungai Purun, Sungai Pinyuh, Anjungan, Sengah Temila, dan Ngabang. Selain itu, Sung Kim Liung juga bertugas menyelidiki kekuatan militer Belanda yang ada di kawasan Kubu dan Teluk Pakedai. Sung Kim Liung yang akrab dipanggil Pak Djung turut berjuang melawan penjajah Belanda melalui organisasi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM). Informasi yang diperoleh oleh Sung Kim Liung kemudian diberikan kepada tokoh GERAM secara berantai. Dari hal itu pimpinan GERAM akan menentukan langkah ke depannya dan menyusun rencana melakukan aksi-aksi perlawanan seperti sabotase. 

Sung Kim Liung dengan seragam kompi serbaguna
Sukarelawan Dwikora 1964-1965
(Sumber: Dok. Ahli Waris Sung Kim Liung)

Sewaktu pasukan Belanda melakukan pembersihan di kawasan Teluk Pakedai dari kaum pejuang kemerdekaan Indonesia, Sung Kim Liung bersama-sama Gusti M. Saleh Aliuddin, Achmad Djajadi, dan pejuang lainnya mengungsi ke hutan lindung guna menghindari penangkapan pasukan Belanda. Hingga tahun 1949, Sung Kim Liung tetap ikut berjuang dalam GERAM sebagai kurir pejuang antara daerah Kubu dan Pontianak.

Pada bulan Desember 1949, sewaktu penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, bersama Gusti Saleh Aliuddin selaku pimpinan dan Achmad Dajajadi selaku wakil pimpinan, Sung Kim Liung melaporkan diri ke Pontianak untuk bergabung dengan pasukan TNI-AD di bawah pimpinan Kapten Abdurahman Umri. Menurut penuturan dari Antonius Sutarto (putra dari Sung Kim Liung, wawancara tahun 2023), pada tahun 1952 Sung Kim Liung mendaftarkan diri menjadi anggota Mobile Brigade (MB) atau sekarang Brigade Mobil (Brimob). Namun karena alasan kesehatan, Sung Kim Liung kemudian melanjutkan sekolah ke bidang ahli gigi di Jakarta.

Atas berbagai peran dan semangat perjuangannya selama perang kemerdekaan, Sung Kim Liung diberikan penghargaan dari Presiden Soekarno dan Menteri Pertahanan Djuanda pada tahun 1958. Hal tersebut membuktikan bahwa perjuangan Sung Kim Liung dalam melawan penjajah Belanda bersama-sama dengan teman seperjuangan lainnya di Kalimantan Barat sudah diakui oleh pemerintah Indonesia.

Post a Comment

0 Comments