ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Perjuangan Multidimensional Rahmah El Yunusiyyah Terhadap Bangsa 1923-1949

Potret Rahmah El Yunussiyah (Wikimedia)


Oleh: Fahri Ahmad Fadillah 

Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Surabaya


Rahma El Yunusiyyah membawa perempuan di Sumatera Barat memiliki kesadaran kebangsaan, mulai dari edukasi hingga menolak agresi militer Belanda dari 1945-1949. Atas perjuangannya itu pada 10 November 2025 dianugerahi pahlawan nasional oleh Pemerintah RI.

Rahmah El Yunusiyyah lahir mewarisi garis keturunan keluarga terkemuka Padang Panjang dari ayahnya Syekh M. Yunus yang merupakan seorang ulama terkemuka dan ibunya Rafi’ah. Pada 29 Desember 1900 Rahmah lahir setelah 4 kakaknya, yakni Zainudin, Mariah, M. Rasyad dan Rihanah Jasmi. Aminuddin dalam Rahmah El Yunusiyyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah (2023) mengungkapkan bahwa keberuntungan Rahmah adalah mewarisi garis keturunan ulama. Perbedaan hidup di zaman yang lebih maju dibandingkan Kartini ataupun Dewi Sartika menjadikan Rahmah dapat merealisasikan semua ide dan gagasan dalam bentuk nyata untuk kehidupan perempuan yang lebih baik.

Kentalnya patriarki dan mahalnya biaya pendidikan di Padang Panjang membuat Rahmah ingin mengubah tata pendidikan setara di semua gender dan kalangan. Keterbukaan pemikiran Rahmah terlihat dalam perjuangannya mendirikan sebuah sekolah muslimah pertama di Indonesia yakni Diniyyah Puteri pada 1923. Demikian Jasmi dalam  Perempuan yang Mendahului Zaman; Sebuah Novel Biografi Syekhah Rahmah El Yunusiyyah (2023) menyatakan bahwa Diniyyah Puteri  hadir menggunakan sistem pendidikan Islam dipadukan dengan sistem pendidikan modern yang visioner. Perempuan manapun yang hendak bersekolah walaupun tidak mempunyai uang, tetap dinerima dan dibimbingnya dengan baik.

Meskipun mendapatkan banyak cibiran dari masyarakat di tengah kentalnya patriarki, termasuk salah satunya perkataan Apakah nanti wanita di dapur akan menghimpit buku?, Rahmah dengan keteguhan hatinya tetap menjalankan niat jihadnya. Penjajahan Jepang pada 7 Maret 1942 telah memasuki kota Padang Panjang. Selain diwajibkan kerja paksa, barang berharga milik masyarakat pribumi juga disita termasuk pakaian. Wati & Eliwatis dalam Rahmah El-Yunusiyyah (Inspirator Pendidikan Bagi Kaum Hawa). at- Tarbiyah al-Mustamirrah 2023 mengungkapkan pada saat itu Rahmah melakukan sebuah gerakan hebat yakni “gunting kain” dimana para siswinya diperintahkan untuk menggunting kain apapun yang dipunyai baik jilbab, gorden, baju sampai sprei, dan hasil potongan tersebut disatukan menjadi pakaian untuk dibagi kepada rakyat. 

Jasmi dalam  Perempuan yang Mendahului Zaman; Sebuah Novel Biografi Syekhah Rahmah El Yunusiyyah (2023) bahwa Rahmah menginstruksikan dalam ucapan “gunting kainmu, taplak meja, gordenmu kumpulkan lalu jahit dan jadikan baju untuk diberikan kepada masyarakat”. Walau tidak cukup namun perjuangan yang dilakukan Rahmah sangat membantu masyarakat pribumi yang kekurangan pakaian. Pada masa yang sama, untuk mengatasi kelaparan, Rahmah melakukan gerakan bareh Saganggam yakni memberikan makanan kepada masyarakat. Husein, et al dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950, Jilid 1. (BPSIM) (1991) memaparkan bahwa 100 masyarakat Padang Panjang juga diungsikan ke lereng Gunung Singgalang untuk dicarikan bantuan berupa makanan dan pakaian.


Rahmah El Yunusiyyah duduk di depan-tengah bersama guru-guru sekolah
Diniyyah Putri (Antara)

Mengadvokasi Perempuan di Era Pendudukan Jepang 

Hamruni dalam Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiyah (2004) menyebutkan penjajahan pada zaman Jepang juga mengakibatkan penderitaan, salah satunya pemerkosaan terhadap perempuan, apabila menolak melayani tentara Jepang, maka seluruh keluarga perempuan tersebut akan dibantai. Modusnya Jepang juga menawari pekerjaan layak pada perempuan Padang, namun kenyataannya mereka dijadikan budak pemuas nafsu. Perempuan korban pemerkosaan tentara Jepang yang dikenal dengan sebutan jugunianfu dikumpulkan di rumah kuning, sebutan untuk rumah bordil. Ketika mendengar kabar bahwa perempuan Minang dikumpulkan di Medan untuk menjadi pemuas nafsu Jepang, Rahmah bersama murid Diniyyah dan pejuang menuju ke markas Jepang di Medan.

Berkat kemasyurannya yang berpengaruh di Minang, Rahma dengan mudah menemui komandan Jepang dan langsung meminta untuk membebaskan para perempuan Minang yang hendak dijadikan pemuas nafsu. Dalam buku Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia, dinyatakan bahwa desakan Rahma bersama organisasinya ADI terus menerus mempropagandakan Jepang untuk menutup Rumah Kuning, dengan pernyataan”Pemerintah Jepang di Indonesia harus segera menutup semua Rumah Kuning di negeri ini”. Peran Rahmah yang memiliki pengaruh luar biasa dan atas desakan bersama ADI, Jepang akhirnya menutup Rumah Kuning, sebagai gantinya Jepang mendatangkan perempuan untuk pemuas nafsu dari Singapura. Demikian Hamruni dalam Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiyah (2004).

Pada 19 Agustus 1945, informasi kemerdekaan terdengar di Padang Panjang. Seketika itu, diadakan rapat cepat yang berlangsung selama satu jam dipimpin oleh Engku Sjafe’i. Hasil rapat memutuskan bahwa Sumatera mengakui proklamasi dan menjadi bagian dari Indonesia. Engku Sjafe’i lalu membacakan naskah proklamasi yang disebut pembacaan proklamasi pertama di Sumatera Barat. Sugiantoro dalam Rahmah El - Yunusiyyah Dalam Arus Sejarah Indonesia 2021 menyebutkan keesokan  paginya pada 20 Agustus 1945, Rahmah mengumpulkan seluruh siswinya di halaman perguruan  Diniyah Putri Padang Panjang untuk mengibarkan bendera merah putih.

Rahmah menyuruh siswinya untuk membuat bendera dengan bahan seadanya. Alat tenun tersedia dari Sekolah Tenun yang pernah didirikannya berada di kompleks Diniyyah Puteri langsung dimanfaatkan. Kain berwarna merah dibuat menggunakan alat tenun, warna putihnya menggunakan selendang putih yang dilimpit dua, lalu dijahit menjadi satu antara kain warna merah dengan selendang warna putih. Demikian Hamruni dalam Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiyah (2004). Dengan sikap sempurna, Rahmah menginstruksikan untuk mengibarkan bendera merah putih yang telah jadi. Masyarakat yang mengetahui merasa ketakutan karena tentara-tentara Jepang masih banyak bertugas di Padang Panjang, namun hal itu bukan menjadi persoalan bagi Rahmah.

Isnaini dalam Ulama Perempuan dan Dedikasinya dalam Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Rahmah El Yunusiyah) (2004) menyatakan bendera Indonesia yang dikibarkan oleh Rahmah menjadi bendera yang pertama kali terpasang di Sumatera. Kabar bahwa Rahmah menjadi orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih juga didengar oleh Soekarno yang sedang membentuk Komite Nasional. Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI).  Soekarno akhirnya memasukkan nama Rahmah sebagai anggotanya.


Dari Dapur Umum Hingga Amunisi

Kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Indonesia tidak serta merta terbebas dari penjajahan. Pada 13 Oktober 1945 NICA (Netherlands Indies Civil Administration) bersama pasukan sekutu mendarat di Padang untuk terus berupaya merebut kemerdekaan Indonesia. Para pejuang terus mengobarkan semangat untuk mempertahankan wilayah. Husein, et al dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950, Jilid 1. (BPSIM) (1991) menyebutkan pada 5 Oktober 1945 pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di berbagai bagian daerah Sumatera Tengah ditunjuk pimpinan yang memiliki kepiawaian dalam bidang militer dan wibawa sesuai kesepakatan bersama. Ketika Padang Panjang membentuk TKR, banyak laki-laki yang ditunjuk namun mereka menolak dengan berbagai alasan. Lalu jabatan pimpinan TKR Padang Panjang ditawarkan kepada Rahmah yang dengan siap menerimanya. Para pejuang berdiri untuk memberikan hormat kepada Rahma. Para pemuda, mantan Gyugun, dan laskar-laskar siap berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan komando Rahmah. Kabar ini segera menyebar di seantero kota, yang membuat banyak masyarakat tercengang. Ketika Rahmah menjadi komandan TKR Diniyyah Puteri memberikan peranan yang luar biasa terhadap perjuangan bangsa.

Rahmah menjadikan Diniyyah Puteri bertransformasi menjadi dapur umum ketika persedian logistik mengalami kekurangan, Rahmah menyerahkan semua hartanya untuk persediaan dapur umum. Syaifullah Chaindir dalam Peranan Institusi Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat dalam Pendidikan Wanita (2012) menyebutkan bahwa peran para perempuan Minangkabau yang termasuk dalam organisasi Haha Nokai bekerja tanpa henti memberikan makanan kepada para tentara yang siap berjuang, saat inilah sebutan “Pasukan Nasi Bungkus” terkenal di Minangkabau. Demikian Syaifullah dalam Peranan Institusi Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat dalam Pendidikan Wanita. Disertasi Sarjana Usuluddin, Universiti Malaya (2002). Pengorganisasian kebutuhan logistik dari dapur umum dijemput tiga kali sehari untuk kemudian dibawa ke barak-barak medan tempur. Rahmah dan siswinya menjadikan Diniyyah Puteri sebagai rumah produksi kain tenun, karena pada masa tersebut kain yang ada benar-benar terbatas. Oleh karena itu, Diniyyah Puteri hadir menjadi rumah produksi kain tenun agar kebutuhan akan seragam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dapat terpenuhi.

Pada 21 Juni-5 Agustus 1947 terjadilah Agresi Militer Belanda I. Kapten Raymond Westerling yang terkenal kejam dikirim ke Sumatera Barat. Kekuatan militer Sekutu semakin kuat sedangkan masyarakat Padang Panjang kekurangan perlengkapan persenjataan. Isnaini menyebutkan dalam upaya membantu perjuangan bangsa Indonesia, Rahmah membeli senjata yang diberikan kepada TKR menggunakan dana pribadinya. Sebagai komandan TKR Rahmah juga membentuk pasukan ekstrimis yang anggotanya direkrut dari kota Padang dan sekitarnya. Pasukan Ekstrimis tersebut dibentuk sebagai mata-mata dan mencuri persenjataan milik Belanda. Demikian Ulandari dalam Perempuan di Sektor Publik dalam Perspektif Islam (Pandangan Progresif Rahmah El-Yunusiyah dalam Kepemimpinan sebagai Ulama dan Pelopor Pendidikan Muslimah Indonesia) (2017).

Peran Rahmah tidak hanya di belakang medan tempur, melainkan juga ikut berjuang di garis terdepan. Hal ini terjadi saat Rahmah melakukan gerilya di Nagari Singgalang. Perjuangan harus terhenti ketika Rahmah berhasil tertangkap oleh pihak Belanda. Belanda mengetahui tempat Rahmah bergerilya atas informasi yang didapatkan dari intel pengkhianat pribumi. Rahmah bersama para pejuang ditahan pada 7 Januari 1949 di penjara kota. Pada 14 Januari 1949 Rahmah dipindahkan ke rumah tahanan milik seorang pejabat polisi di Padang. Pemindahan tersebut beralaskan supaya penjagaan ketat terhadap Rahmah dapat dilakukan dengan intens. Catatan dalam Buku Peringatan 55 Tahun Diniyyah Puteri Padang Panjang (1978) menyatakan bahwa pada saat menjadi tahanan rumah (huis arrest) Rahmah tidak diizinkan menerima tamu, menerima surat, dan mendengarkan radio. Begitu banyak masyarakat yang mendesak supaya Rahmah dibebaskan, sehingga pada bulan Mei 1949 Rahmah dijadikan tahanan kota hingga Oktober 1949.

Post a Comment

0 Comments