Absennya Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah Luar Biasa

Ganjar Pranowo saat menemui salah satu siswa difabel berprestasi
asal Jawa Tengah (21/12/2019). Sumber: kompas.com

Wajibnya Mata Pelajaran Sejarah dalam kurikulum 2013 di seluruh tingkatan sekolah menengah nyatanya tidak dirasakan oleh siswa SMA Luar Biasa. Padahal peraturan yang ada telah memerintahkan dan sebagai penerus bangsa juga berhak mendapatkan mata pelajaran sejarah.

Sesuai amanat Kurikulum 2013, mata pelajaran (mapel) Sejarah Indonesia dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran wajib bagi seluruh satuan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas, baik di kelas X hingga kelas XII. Pengelompokkan itu bukannya tanpa alasan, pemerintah menilai sejarah sebagai mata pelajaran yang bertujuan untuk penguatan kemampuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Permendikbud No. 36 tahun 2018). Dengan demikian seluruh siswa ditiap jurusan mendapatkan mata pelajaran ini sebanyak 2 jam pertemuan setiap minggunya. 

Dinamika pelajaran sejarah di SMA sejak penerapan Kurikulum 2013 (2014), relatif tidak mengalami banyak gangguan dan intervensi. Namun, beda halnya yang terjadi di tingkat SMK yang kini hanya dipelajari di kelas X, dan terlebih lagi bagi siswa SMA Luar Biasa yang sama sekali tidak mendapatkan mapel ini. Padahal peraturan dari kemendikbud sudah mengakomodir agar mapel ini juga diberikan kepada siswa-siswa difabel. 

Kesia-siaan Proyek Buku Ajar 

Dalam sebuah seminar dengan tema "Peran Pendidikan Sejarah Bagi Pembangunan Bangsa", yang dilaksanakan secara daring oleh Program Studi Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Sabtu (5/12/2020) terungkap, bahwa pemerintah pernah mencoba untuk menyiapkan buku ajar Sejarah Indonesia bagi siswa SMA Luar Biasa. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Aman, selaku salah satu pemateri dalam seminar sekaligus mengampu sebagai Koordinator Program Studi Magister Pendidikan Sejarah UNY. Dirinya mengaku bersama tim dosen dari Jurusan Pendidikan Sejarah UNY pernah mendapatkan tugas dari Kemendikbud untuk menyusun buku ajar Sejarah Indonesia bagi siswa SMA LB. 

Bahkan menurutnya, buku ajar itu telah selesai disusun dan siap dicetak. "Sayangnya, saat revisi K13 ditahun 2016, mapel itu tidak jadi diberikan bagi SMA LB. Padahal buku itu telah selesai kami susun", ujarnya. Dr. Aman juga menambahkan bahwa pembatalan itu menyebabkan proyek penyusunan buku ajar itu menjadi sia-sia, padahal menurutnya sudah menghabiskan dana negara yang cukup besar. "Apakah mereka (difabel) yang juga penerus bangsa tidak berhak mendapatkan mata pelajaran sejarah?" keluhnya. 

Aturan Khusus

Dalam kesempatan yang sama, M. Rikaz Prabowo yang juga menjadi salah satu pemateri dalam seminar juga memaparkan berdasarkan Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Bahwa tingkat kompetensi sebagai dasar pemberian mata pelajaran kepada siswa SMA LB hanya diperuntukkan bagi difabel yang mengalami tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dan tuna laras yang memiliki intelegensi normal. 

Dirinya juga menambahkan, bahwa kompetensi yang disusun dalam Permendikbud itu juga tidak menunjukkan perbedaan kompetensi antara siswa SMA umum dan SMA LB. Dimana dalam Kompetensi Inti Pengetahuan disebutkan siswa dapat memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan (faktual, konsentual, prosedural, metakognitif), yang salah satunya didasari atas rasa ingin tahu tentang ilmu budaya dan humaniora. Dua hal ini (budaya dan humaniora) tentunya sangat cocok sekali dengan mata pelajaran Sejarah. Bahkan, salah satu wawasan yang dikembangkan juga mencakup kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban. Tentunya hal ini semakin menjadikan Sejarah sebagai mata pelajaran yang sangat pas untuk mencapai kompetensi tersebut.

Untuk itu diakhir seminar, para pemateri dan peserta berharap pemerintah dapat memberikan mapel sejarah sebagaimana mestinya, terutama ditingkat SMK dan SMA-LB. Wahyudi Azharief yang juga menjadi salah satu pemateri menegaskan hal itu juga sedang diperjuangkan oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, agar masalah di dua tingkat sekolah itu dapat selesai dan selaras dengan peraturan yang ada, imbuhnya. 


Penulis:

Salsafira Andjani 

0 comments:

Post a Comment